Peristiwa Sejarah

Peristiwa Sejarah
Peristiwa masa lalu adalah sebuah kaca benggala masa depan

Proklamasi Kemerdekaan RI

History is Event. Pilih Menu, Temukan Video Sejarah Indonesia, Lalu Klik, Tonton Filmnya !!!

Alhamdulillah Langsung Lulus Sertifikasi Guru

Alhamdulillah Langsung Lulus Sertifikasi Guru
Bermodalkan spirit membangun kualitas pendidikan dan anak bangsa yang lebih baik, meski belum begitu lama mengabdikan keilmuawan dan belum memiliki Akta IV karena bukan dari fakultas keguruan, (namun bermodalkan masa lalu aktif di dunia kampus), berkiprah membangun amanah membimbing pusparagam kegiatan kesiswaan dengan iklhas, memiliki sejumlah karya tulis, bermodalkan spirit inovasi dan kreatifitas, BISA LULUS SERTIFIKASI GURU SECARA LANGSUNG. Sebuah tantangan lebih mengasyikan, melahirkan penerus umat- bangsa masa depan yang lebih baik. -------- Terima kasih murid-muridku yang telah banyak menginspirasi mengajar lebih baik. Selamat berjuang meraih prestasi bagi anak-anaku yang dulu pernah berdialektika dikelas dan sekarang sedang menempuh pendidikan tinggi di ITB, UI, UGM, UNPAD, UPI, UNDIP, Unsoed, UIN, Unitirta, Malaysia, Al Azhar Mesir, dll.... Mudah-mudahan ananda semua mampu meraih puncak prestasi akademik Doktor hingga Profesor di usia muda. Bangun umat dan bangsa dari keterpurukan. !!!. ----- Selamat berjuang bagi anak-anaku yang saat ini selalu berinterkasi di ruang kelas. Wujudkan mimpi bisa diterima di PTN unggulan seperti kakak mu dulu. Mari terus mengembangkan spirit keilmuwan di sekolah tercinta !!

8 Des 2007

RISET SEJARAH

Ulama dalam Konstalasi Politik Orde Baru
(Studi tentang Majelis Ulama Indonesia/MUI)
Oleh: In In Kadarsolihin, S.S.


Sejak zaman Kolonial Belanda sampai Pemerintah Orde Baru, para ulama telah mengintegrasikan diri ke dalam berbagai organisasi keislaman sebagai suatu respons terhadap kondisi sosial politik bangsa Indonesia. Ada suatu pola sejarah yang mengedepan dari peran ulama tersebut yakni, setiap pemerintah yang berkuasa selalu berupaya untuk memasukkan ulama ke dalam sistem birokrasi. Upaya ini biasanya dilakukan dalam rangka meredam kekuatan umat Islam yang senantiasa bersinggungan dengan negara. Umat Islam dipandang sebagai faktor politik yang membahayakan.

Ketegangan umat Islam dan negara pada dekade tahun 1970-an dan 1980-an adalah perwujudan dari respons balik pemerintah terhadap sikap keras umat Islam yang menginginkan aspirasi sistem politik Islam dalam negara Indonesia. Pemerintah memandang umat Islam sebagai kelompok yang tidak sepenuhnya bersedia menerima Pancasila sebagai ideologi negara. Kelahiran MUI pada tahun 1975 menjadi tumpuan dua kubu yang bersinggungan, antara pemerintah dan umat Islam. Sebagai organisasi ulama, tentunya MUI adalah merupakan tumpuan umat yang diharapkan mampu membawa pesan maupun keluh kesah umat terhadap pemerintah. Bagi pemerintah, MUI diharapkan mampu menerjemahkan sejumlah kebijakan yang ditujukan kepada umat Islam.

Untuk mengetahui sampai sejauhmana akomodasi kepentingan umat Islam yang dapat disampaikan MUI kepada pemerintah, dan seberapa besar upaya pemerintah melalui MUI dalam mewujudkan harmonisasi hubungan Islam dan negara, perlu dianalisis beberapa permasalahan sebagai berikut, pertama, anatomi organisasi MUI, kedua, kinerja MUI, dan ketiga, perspektif politik Orde Baru terhadap umat Islam

beserta faktor yang melatarbelakangi ketidakharmonisan hubungan umat Islam dengan pemerintah Orde Baru.

1 Anatomi Keorganisasian MUI

1.1 Visi dan Misi

MUI sebagai sebuah organisasi nasional, keberadaannya tergolong unik karena organisasi ini dibidani oleh pemerintah dengan didahului oleh kelahiran organisasi ulama daerah. Di samping itu juga MUI tidak mempunyai anggota[1]. Pedoman Dasar yang dijadikan pijakan MUI merupakan substansi nilai kompromi antara keinginan kelompok ulama dan umaro (pemerintah). Hubungan antara keduanya pada saat terbentuknya MUI sedang dalam keadaan saling curiga. Kubu pemerintah berpandangan ideologi Islam sebagai kekuatan kedua yang berbahaya setelah komunis bagi eksistensi negara persatuan Indonesia[2]. Pada kubu lain golongan ulama menginginkan pengimplimentasian ajaran Islam dalam kehidupan berbangsa secara lebih utuh

Kompromi lebih besar dari kehendak dua pandangan yang berbeda itu tampak dari Pedoman Dasar[3] MUI lebih mengarah kepada keinginan pemerintah. Ini terbukti dengan adopsi Pedoman Dasar MUI lebih merupakan intisari sambutan dari Pidato Presiden Soeharto pada saat membuka Munas Alim Ulama pada tanggal 23 Juli 1975 di Jakarta. Munas tersebut kemudian menyepakati lahirnya MUI.

Intisari pidato presiden pada Munas Alim Ulama yang dijadikan sebagai orientasi visi dan misi dari MUI itu adalah, pertama tugas ulama adalah amar ma’ruf nahi munkar. Kedua, menjadi penerjemah pesan-pesan pembangunan. Ketiga, mendorong, memberi arah, dan menggerakkan umat Islam dalam membangun dirinya. Keempat, memberi masukan tentang kehidupan beragama kepada pemerintah. Kelima, menjadi mediator penghubung ulama dan pemerintah. Keenam, kepengurusan MUI hendaknya menggambarkan keterwakilan unsur-unsur golongan dalam umat Islam, sedangkan pejabat pemerintah bertindak sebagai penasehat atau pelindung. Ketujuh, MUI hanya cukup memiliki pengurus saja, tanpa adanya anggota. Kedelapan, MUI tidak perlu mendirikan masjid, madrasah, rumah sakit, dan sebagainya. Kesembilan, MUI tidak perlu melakukan kegiatan politik. Kesepuluh, MUI bersama ormas keagamaan lainnya perlu membentuk wadah konsultasi untuk meningkatkan kerukunan umat beragama.

Kesepuluh orientasi tersebut mencerminkan fungsi ideal ulama dalam kehidupan berbangsa. Pengimplimentasian orientasi tersebut ternyata tidak terlepas dari kebijakan pemerintah Orde Baru. Kenyataan tersebut melahirkan asumsi, bahwa MUI mempunyai kecenderungan tidak dapat mengambil sikap tegas pada pemerintah. Pada kenyataan lain, MUI adalah refresentasi kekuatan Islam dan sekaligus harapan umat untuk lebih berperan dalam kehidupan berbangsa, khususnya menyangkut kemerdekaan melaksanakan ibadah. Konsekuensi keadaan tersebut adalah terjadinya tarik ulur dua kepentingan antara pemerintah dan umat Islam tidak dapat dihindari sepanjang sejarah MUI.

Dalam nuansa seperti itu posisi MUI seperti yang dikemukan oleh Ketua Umum MUI pertama, Hamka, bahwa ulama itu ibarat kue bika di atas dan di bawah dibakar dengan api. Hal ini mengingat MUI mempunyai fungsi yang strategis untuk dapat mengontrol kebijakan pemerintah dan menyuarakan keinginan umat Islam. Senada dengan Hamka, KH. Hasan Basri yang pernah menjabat Ketua Umum MUI selama tiga periode 1985 - 1998, menandaskan bahwa MUI bertugas sebagai penjaga agar jangan ada undang-undang di negeri ini yang bertentangan dengan ajaran Islam. Tugas lainnya memberikan rekomendasi kepada pemerintah mengenai berbagai peraturan lainnya yang memungkinkan kaum muslimin dapat memperbaiki cara hidupnya berdasarkan ajaran Islam.

Kestrategisan fungsi tersebut merupakan sebuah kekuatan dari orientasi yang dimiliki MUI. Kenyataan ini melahirkan pengharapan yang besar dari umat Islam terhadap MUI untuk bisa responsif terhadap segala ketimpangan kebijakan pemerintah, khususnya menyangkut kepentingan umat.

1. 2 Pedoman Organisasi

Sejak berdirinya pada tahun 1975, orientasi tradisional tujuan dari MUI adalah amar ma’ruf nahi munkar. Secara signifikan dalam mengimplimentasikan tujuannya tersebut, digariskan di dalam Pedoman Dasar MUI.

Pedoman Dasar MUI pertama kali disahkan pada Munas I tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta yang ditanda tangani oleh 53 orang ulama, terdiri dari 26 orang ulama utusan MUI Daerah Tk. I, 10 organisasi Islam tingkat pusat, 4 orang ulama utusan Dinas Kerohanian ABRI, dan 13 ulama perorangan. Dalam perjalanannya Pedoman Dasar tersebut mengalami beberapa proses perubahan yang cukup mendasar menyangkut tujuan, pencantuman asas, aqidah, dan penjabaran dari usaha MUI.

Pada Munas I MUI, Pedoman Dasar pasal 3, tujuan MUI disebutkan, “Majelis Ulama Indonesia bertujuan ikut mewujudkan masyarakat yang aman sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan GBHN”. Pada Munas II MUI tahun 1980 landasan tujuan MUI berubah lagi menjadi, “MUI bertujuan ikut serta mewujudkan masyarakat yang aman, damai, adil, dan makmur rohaniah dan jasmaniah sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, GBHN yang diridhoi Alloh SWT”. Pada Pedoman Dasar MUI yang disahkan pada Munas III 23 Juli 1985 pasal 3, redaksional tujuan berubah lagi menjadi; “MUI bertujuan mengamalkan ajaran Islam untuk ikut serta mewujudkan masyarakat yang aman, damai, adil, dan makmur rohaniah dan jasmaniah yang diridhoi oleh Alloh SWT”.

Perubahan redaksional tujuan MUI menandakan berubahnya sikap MUI. Sejak Munas I hingga Munas III agaknya MUI menyesuaikan diri dengan nuansa kehidupan sosial politik khususnya periodisasi hubungan Islam dan negara yang berubah-ubah. Pada Pedoman Dasar MUI tahun 1975 hanya disebutkan ikut mewujudkan masyarakat yang aman sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan GBHN, Pokok tujuan dari Pedoman Dasar MUI tahun 1975, baru mengarah kepada orientasi tujuan MUI untuk menciptakan tingkat stabilitas keamanan kehidupan berbangsa. Pada Pedoman Dasar MUI tahun 1980 sudah mengarah kepada “ikut serta mewujudkan masyarakat yang aman, damai, adil, dan makmur rohaniah dan jasmaniah sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan GBHN yang diridhoi Alloh SWT”. Pada Pedoman Dasar ini MUI sudah memandang bahwa peran dari orientasi tujuan tidak terbatas pada tingkat partisipasi menciptakan keamanan, tetapi sudah mengarah kepada partisipasi dalam pembangunan.

Perubahan lain yang cukup mendasar dari Pedoman Dasar MUI adalah masalah asas. Pada Munas III MUI 23 Juli 1985 di Jakarta telah menyepakati pencantuman Pancasila sebagai asas organisasi MUI pada pasal 2. Pencantuman asas ini diprakarsai oleh KH. Hasan Basri atas petunjuk UU No. 8 Tahun 1985 pasal 4 tentang keormasan yang mewajibkan organisasi kemasyarakatan (ormas) mencantumkan asas Pancasila dalam Anggran Dasarnya. UU No. 8 itu sendiri sebenarnya baru diundangkan pada tanggal 17 Juni 1985, kurang lebih satu bulan sebelum Munas III MUI. Penerimaan yang begitu cepat dari MUI terhadap asas tungal Pancasila ini menunjukkan betapa mudahnya MUI menerima

kehendak pemerintah untuk penyeragaman asas organisasi.

Dicantumkannya Pancasila dalam Pedoman Dasar MUI tampaknya bukan sesuatu yang membuat sempit kinerja organisasi. Pengertian asas sebagai sesuatu yang menjadi tumpuan berfikir dan berpendapat, dasar cita-cita organisasi, agaknya bagi MUI lebih memilih pengertian asas Pancasila sebagai sumber dari segala sumber yang hanya menyangkut hal-hal yang bersifat kenegaraan. Oleh karena itu MUI mempunyai pandangan, bahwa masalah asas bukan merupakan hal yang sangat substansif. Hasan Basri menegaskan ada dua alasan mengapa MUI menerima asas Pancasila. Pertama, MUI dalam prinsip kerja memakai ilmu gula, semua unsur mengerumuninya. MUI mengupayakan diri agar dapat diterima di kalangan masyarakat dan pemerintah. Kedua, agar jangan sampai MUI dibubarkan.

Untuk menepis protes umat Islam terhadap MUI atas sikapnya menerima asas Pancasila tersebut, MUI menegaskan komitmen keislaman di dalam Pedoman Dasar dengan mencantumkan pasal Aqidah sebagai landasan berpijak organisasi. Mulai Munas III pada Pedoman Dasar MUI dicantumkan kata Aqidah pada pasal 1 ayat 2. Pasal tersebut berbunyi, “Majelis Ulama beraqidah Islamiyah”. Tampaknya pencantuman kata aqidah ini dimaksudkan pula untuk memperjelas pengertian dari kata ulama sebagai tokoh yang memahi wawasan keislaman. Pengertian ulama itu sendiri sebenarnya cukup komprehensif, pengertian ulama mengacu kepada asal katanya alim yang berarti orang yang mengetahui, orang pandai.

Bila mengacu kepada kelaziman bahwa ulama senantiasa identik dengan Islam, maka pencantuman aqidah adalah hal yang mubadzir. Pencantuman kata ulama saja sudah mencerminkan bahwa MUI adalah lembaga Islam. Pencantuman kata aqidah dalam Pedoman Dasar MUI tampaknya sebagai sebuah strategi untuk tetap mengeksistensikan diri bahwa MUI adalah organisasi yang berpegang teguh pada syariat Islam. Pasal aqidah merupakan pencitraan diri MUI, bahwa lembaga ini adalah majelisnya para ulama yang beraqidah Islam, tetap berlandaskan kepada Alquran dan Assunah dalam setiap mengambil kebijakan yang menyangkut kepentingan umat Islam.

Perubahan lainnya tampak pada pasal tentang fungsi. Sebagaimana hasil Munas I dan II pasal yang mencantumkan tentang fungsi dijadikan acuan MUI untuk menjalankan kinerja organisasi. Fungsi MUI dijadikan landasan pokok untuk berpijak tentang apa-apa yang bisa dilakukan oleh MUI. Pada Munas III MUI, pasal fungsi dihilangkan dan dijadikan ayat tersendiri pada pasal 4 tentang usaha. Pada dasarnya pasal 4 lebih mengarah kepada penegasan dari implimentasi kerja yang dapat dilaksanakan oleh MUI. Pasal 4 ayat 1 memberikan gambaran tentang usaha MUI yaitu, Memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat dalam mewujudkan kehidupan beragama dan masyarakat yang diridhoi oleh Alloh SWT”. Ayat tambahan lainnya menyangkut usaha MUI adalah Meningkatkan hubungan kerjasama antarorganisasi, lembaga Islam dan cendikiawan muslim”. Perumusan ayat tambahan tersebut semakin menunjukkan sifat operasional yang dilakukan oleh MUI dengan tidak meninggalkan tugas pokok sebagai alat untuk mencapai stabilitas dan ketahanan nasional.

Pada pasal 7 ayat 4 Pedoman Dasar menyatakan bahwa MUI adalah organisasi yang tidak berafiliasi dengan salah satu organisasi sosial politik. Sebuah sikap independen yang ingin ditunjukkan oleh MUI. Pada kenyataannya, kalau diamati gerak program MUI lebih mengarah kepada mendukung status quo. Hal ini tampak dari himbaun secara tidak langsung dan permohonan kepada Soeharto untuk tetap menjadi presiden RI., termasuk himbauan menyukseskan format politik Orde Baru yang mengedepankan stabilitas nasional yang semu.

1.2 Struktur Organisasi

Sebagaimana disebutkan tadi, Mui adalah organisasi para ulama dan zu'ama; para cendikiawan.[M1] Di dalamnya terdapat berbagai latar belakang pemikiran dari berbagai ormas Islam dan juga dari pemerintah. Semua elemen yang ada di MUI terakomodasi di dalam struktur kepengurusan. Sesuai Pedoman Dasar MUI, komposisi kepengurusan MUI terdiri dari:

- Pelindung

- Dewan Pertimbangan

- Dewan Pimpinan.

Di dalam Anggaran Rumah Tangga MUI pasal 2 ayat 1 disebutkan Pelindung berfungsi sebagai pemberi bimbingan dan perlindungan kepada Majelis Ulama sesuai dengan tingkatannya masing-masing. Personil yang menjadi pelindung MUI adalah pimpinan tertinggi pada institusi pemerintahan. Bimbingan dan perlindungan yang dimaksudkan di sini sebagai legitimasi bahwa MUI adalah lembaga formal keagamaan yang referesentatif mewakili kepentingan ulama dan pemerintah.

Dewan Pertimbangan fungsinya memberikan pertimbangan, nasehat, bimbingan, dan bantuan kepada Dewan Pimipinan MUI. Person yang duduk dalam Dewan Pertimbangan ini adalah jabatan institusi tertinggi di Departemen Agama ditambah beberapa pejabat lain yang berhubungan dengan tugas MUI sebagai anggota.

Dewan Pimpinan adalah pelaksana keputusan-keputusan Munas, Rakernas, Rapat pengurus Paripurna. Kelengkapan Dewan Pimpinan ini terdiri dari Ketua Umum beserta staf Ketua, Sekretaris Umum beserta Staf, Bendahara beserta staf, dan Anggota. Tugas pokok dari Dewan Pimpinan adalah melaksanakan tugas menghubungkan antara Pemerintah dan Ulama serta Umat Islam yang bersifat konsultatif, koordinatif, dan informatif. Sedangkan fungsi dari Dewan Pimpinan Majelis Ulama adalah merumuskan kebijakan hasil Munas, merumuskan fatwa dan nasehat yang akan disampaikan kepada pemerintah dan masyarakat, melaksanakan dan merumuskan implimentasi kerja MUI.

Dewan Pimpinan MUI dalam melaksanakan tugasnya dilengkapi dengan staf Pimpinan Harian, Sekretariat, dan Komisi-komisi. Komisi MUI terdiri dari: Komisi Hukum dan Fatwa, Komisi Ukukhuwah Islamiah, Komisi Hubungan Luar Negeri, Komisi Hubungan Ulama dan Umaro, Komis Dakwah dan Pembangunan, Komisi Pendidikan, Kebudayaan, dan Pengkaderan Ulama, Komisi Pengkajian masalah Keagamaan, Komisi Organisasi, dan Komisi Khusus. Untuk lebih jelasnya tentang struktur Majelis Ulama Indonesia







Pada struktur organigram MUI tersebut tampak dengan jelas bagaimana hubungan MUI dengan pemerintah. Orang akan memandang bahwa MUI hanya merupakan perpanjangan tangan pemerintah, tuntutan untuk bersikap independen agaknya sulit terwujud. Persepsi seperti itu agaknya tidak terlampau obyektif. Perlu diperhatikan pula bahwa untuk memberikan daya tawar, seperti tampak dalam bagan, pucuk pimpinan berbagai ormas Islam mengintegrasikan diri ke dalam MUI. Kenyataan ini yang sebenarnya kondisi yang akan memperkuat daya tawar MUI.

Hubungannnya dengan pemerintah dengan menempatkan Presiden sebagai Pelindung, menurut KH. Ali Yafi karena sudah menjadi kecenderungan bahwa semua organisasi pada zaman rezim Orde Baru, menempatkan posisi pelindung dari kalangan pemerintah. Lebih lanjut Ali Yafi mengatakan,

Bagi MUI tidak menjadi suatu masalah sepanjang independensi menyalurkan aspirasi dan menjalankan program bisa terlaksana dan mampu memenuhi kebutuhan umat. MUI itu pelayan umat yang harus mampu memberikan arahan kepada siapapun dalam koridor menegakan prinsip dasar keadilan berdasarkan wawasan keislaman. Independensi dalam pengertian MUI adalah suatu kebebasan dalam menyalurkan aspirasi kepada pemerintah. Sepanjang berdirinya MUI, umat selalu memandang dari sudut kooperatif ulama dan umaro, pengharapan umat itu terlalu banyak dibanding dengan kemampuan yang riil dimiliki oleh MUI. Keberadaan MUI lebih baik daripada tidak adanya.

Sikap independen MUI dapat kita telusuri dari struktur kepengurusannya. Struktur kepengurusan MUI dalam kurun waktu tahun 1975 –1990, agaknya tidak begitu memperdebatkan pucuk pimpinan. Tiga kali pergantian pucuk pimpinan MUI tampaknya faktor kapabilitas yang sangat menentukan. Hamka ataupun Syukri Gazali dipilih lebih karena

kemampuannya, demikian juga dengan Hasan Basri.

Suatu hal yang perlu ditelaah disini adalah sikap kooperatif yang ditanamkan pada setiap periode kepegurusan. Melalui sikap organisasi MUI yang seperti disebutkan tadi, rezim Orde tampaknya merancangnya sebagai organisasi korporatis. Hal ini tidak bisa dihindarkan dari kebebasan terkendali dari rezim Orde Baru terhadap penyusunan kepengurusan.

Ada kecenderungan setiap hasil Munas pengisian kepengurusan MUI didominasi dari pejabat agama pemerintah (Departemen Agama). Padahal ulama yang lebih independen dan mampu duduk dalam kepengurusan MUI relatif lebih memadai dibanding pejabat agama pemerintah. Sebagaimana dikemukan tadi, pengisian jabatan di MUI berasal pula dari ormas Islam dan bersifat proporsional keterwakilan. Ketua ormas Islam akan menduduki posisi presidium/inti di MUI. Proporsional keterwakilan dari berbagai ormas Islam ini adalah sebagai wahana komunikasi dalam membicarakan masalah keumatan dan refresentasi mewakili suara formal pemerintah. Namun bagi sebagian ormas Islam, agaknya keberadaan MUI lebih sebatas sebuah forum untuk mengakomodir sekian pendapat dari berbagai kelompok Islam . Ditinjau dari segi efektifitas, Keputusan yang diambil dalam forum MUI secara internal akan lebih efektif keputusan ormas yang disampaikan langsung kepada warganya.

Berkait dengan keberadaan MUI daerah adalah sesuatu yang unik. Orang pasti akan memandang bahwa MUI adalah sebuah organisasi struktural mulai dari tingkat pusat hingga daerah TK. II dan bahkan kecamatan/desa. Hubungan antara Majelis Ulama pusat dan daerah adalah koordinatif, konsultatif dan informatif serta pengayoman. Sifat ini ditegaskan di dalam Pedoman Dasar MUI hasil Munas I dan II. Dalam perkembangannya, pada Munas III sifat hubungan MUI Daerah dan MUI Pusat tidak ditegaskan lagi. Prinsip yang dikedepankan dalam hubungan MUI Pusat dan Daerah adalah tata aturan tentang kinerja. Tata kerja MUI Pusat dan MUI Daerah disamakan dengan mengacu kepada kondisi daerah masing-masing.

Ketua MUI Daerah Tasikmalaya, KH Dudung Abdurahman menilai bahwa keberadaan MUI Daerah TK. I dan MUI pusat bagi MUI Daerah TK II adalah tidak ada hubungan struktural. Ada kewajiban moral yang sama untuk amar ma’ruf nahi munkar di dalam memecahkan masalah kemasyarakatan. Sifat hubungan yang dikembangkan antara MUI Pusat dan MUI Daerah adalah informatif, koordinatif, dan konsultatif. Hal ini karena pada dasarnya orang MUI adalah juga sebagian berasal dari ormas Islam seperti NU atau Muhammadiyah, dimana ormas ini mempunyai hubungan struktural pusat – daerah dan juga mempunyai tugas amar ma’ruf juga, yang membedakan terletak pada keanggotaan. Sementara itu sebagaimana diatur oleh Pedoman Dasar MUI, Kepengurusan MUI seyogyanya mencerminkan komunitas plural dari berbagai kelompok Islam. Sementara ada suatu kecenderungan bahwa dalam komunitas lokal, ormas Islam yang tergabung ke dalam MUI adalah berasal dari satu ormas saja.

Kondisi demikian lebih memungkinkan hubungan Majelis Ulama Daerah dan MUI Pusat bersifat koordinatif. Kondisi seperti itu pula yang menyebabkan terbukanya kemungkinan perbedaan pendapat antara MUI Pusat dan MUI D0aerah. Koridor yang dibangun adalah mengupayakan kontrol moral atas berbagai kebijakan pembangunan dalam tingkatan lokal.

2 MUI dan Umat Islam

2.1 Kinerja MUI

Pada penjelasan terdahulu telah disinggung bahwa, MUI adalah refresentasi wakil umat Islam untuk dapat menyalurkan aspirasinya terhadap pemerintah. Untuk itu, MUI senantiasa mengupayakan sejumlah usaha yang dapat diterima oleh masyarakat Islam dan organisasi-organisasi Islam, serta berusaha menjaga hubungan yang baik dengan pemerintah, juga menjaga aqidah umat Islam. Oleh karena itu sejumlah program yang di hasilkan dalam setiap Rakernas MUI senantiasa mengakomodir tiga pokok masalah, yaitu:

1. Masalah Agama dan Ketahanan Nasional.

2. Agama dan pembangunan.

3. Dakwah dan Kerukunan Antarumat beragama.

Ketiga pokok masalah tersebut terimplimentasikan ke dalam setiap program kerja MUI. Program kerja ini akan mencerminkan sampai sejauhmana MUI berperan dalam kehidupan kebangsaan. Sesuai dengan cita awal terbentuknya MUI, baik harapan pemerintah maupun ulama sendiri, keberadaan MUI adalah untuk dapat mewujudkan tatanan masyarakat yang aman, damai, terpenuhi keseimbangan jasmani dan rohani, serta diridhoi Allah SWT. dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk itu MUI senantiasa berupaya ikut ambil bagian dalam setiap kebijakan pembangunan.

Secara orientasi kerja, program kerja MUI mengandung empat tujuan sebagai berikut;

1. Memantapkan, meningkatkan, dan mendayagunakan Majelis Ulama sebagai organisasi ulama

2. Menamamkan kesadaran hidup beragama dalam tatanan masyarakat dalam wadah negara yang berfalsafahkan Pancasila

3. Memantapkan dan meningkatkan kesadaran bernegara untuk menggalang persatuan bangsa

4. Ikut menyukseskan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.

Fokus orientasi program kerja MUI tersebut menunjukkan pendirian pokok organisasi agar dapat diterima oleh masyarakat sebagai refresentasi fungsi ulama dalam kehidupan kenegaraan. Untuk maksud yang sama MUI juga selalu memelihara hubungan yang baik dengan pemerintah. Di samping itu MUI berupaya agar menjadi penghubung kepentingan umat Islam dengan senantiasa merespons setiap kebijakan pembangunan yang dilahirkan oleh pemerintah Orde Baru.

Untuk menciptakan hubungan yang kondusif dengan berbagai kalangan, pada tahun-tahun permulaan berdirinya pengurus MUI senantiasa datang berkunjung ke berbagai organisasi Islam. Organisasi Islam yang dikunjungi adalah Muhammadiyah, NU, SI, Persatuan Tarbiyah Islamiah (Perti), Dewan Dakwah Islamiah Indonesia (DDII), Al Irsyad, Al Washliyah, Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam (GUPPI), Perguruan Tinggi Dakwah Islam (PTDI), Pembina Iman Tauhid Islam (PITI), dan sjumlah organisasi wanita Islam serta organisasi mahasiswa/pelajar Islam. Beberapa waktu kemudian MUI mengundang organisasi-organisasi Islam ke sekretariat MUI untuk membicarakan berbagai persoalan kebangsaan yang menyangkut eksistensi umat Islam di Indonesia.

Program penting MUI dalam rangka pelaksanaan syiar keagamaan tercermin dari hasil Rapat Kerja Nasional (Rakernas), dan Rapat Paripurna MUI. Pada periode awal kepengurusan, MUI mengadakan tiga kali Rakernas, yakni pada tahun 1976, 1977, 1978. Rapat Kerja pertama berlangsung pada bulan Juli 1976 dan dimaksudkan untuk memantapkan eksistensi MUI dan hubungan kerja dengan MUI Daerah. Hal terpenting dari Rakernas I MUI adalah disahkannya Pedoman Rumah Tangga MUI dan mekanisme kerja kesekretariatan. Rapat Kerja ini memutuskan pula sejumlah sikap MUI tentang memelihara dan membina kesadaran dan disiplin nasional, film-film dan media komunikasi massa , Pemilu 1977, integrasi Timor Timur, musibah di Bali dan Irian Jaya, Masjidil Aqsa di Libanon. Pada Rapat Kerja Nasional yang pertama tersebut, MUI tampak berupaya untuk tidak membicarakan konteks pemahaman keislaman secara sempit dalam arti ibadah semata, tetapi sudah menjangkau dimensi sosial.

Rakernas ke-2 berlangsung pada bulan Agustus 1977 dalam suasana keresahan masyarakat sebagai ekses pemilihan umum. Oleh karena itu Rakernas dititikberatkan pada usaha untuk menciptakan kerukunan nasional. Seperti halnya pada Rakernas yang ke-1, pada Rakernas yang ke-2 masalah organisasi, agama, pembangunan, dan ketahanan nasional menjadi perhatian. Pada bidang agama dibahas pendayagunaan zakat, hukum zakat hubungannya dengan perundang-undangan, Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran, peraturan wakaf dan dakwah Islamiyah di daerah. Pada bidang pertahanan dan keamanan nasional dibahas perananan ulama dalam pembangunan nasional, ulama dan pendidikan non formal, ulama dan penanggulangan narkotika, serta ulama dan trasmigrasi.

Rakernas yang ke-3 dilangsungkan pada bulan Oktober 1978 di Cipayung Bogor membahas pokok permasalahan yang berhubungan erat dengan persiapan Sidang Umum MPR tahun 1978, yaitu mengenai P4, UUD 1945, dan GBHN, dakwah Islamiyah, kerukunan antarumat beragama dan kebijakan umum lainnya yang menyangku tatanan sosial kehidupan bermasyarakat dan bernegara khususnya yang berkaitan dengan kepentingan umat Islam.

Adakalanya untuk memecahkan problem kemasyarakatan, MUI mengadakan kegiatan lokakarya seperti, Lokakarya Dakwah Islam di Masyarakat Kota, Lokakarya Pendidikan Agama di Lingkungan Rumah Tangga, Seminar Kewiraswastaan, Pekan Ulama/Khatib, Diskusi Panel Pembaruan Sistem Pendidikan Nasional, Seminar Mass Media Islam, Seminar Sejarah Islam di Indonesia, dan sejumlah kegiatan fungsional lainnya.

Berbagai kegiatan yang dilaksanakan tersebut, tampaknya tidak terlepas dari nuansa politis kebijakan pemerintah, misalnya pelaksanaan Lokakarya Dakwah Islam. Lokakarya ini diselenggarakan berkaitan dengan keterkekangan dakwah Islam yang harus meminta izin terlebih dahulu kepada aparat keamanan. Pekan Khatib dilaksanakan berkaitan dengan isi/ulasan materi para khatib yang berkecenderungan “menyerang” Pancasila yang dipertentangkan dengan nilai-nilai keislaman, begitu pula dengan kegiatan Diskusi Panel Pembaruan Sistem Pendidikan Nasional diselenggarakan berhubungan erat dengan rencana pemerintah untuk membuat sistem perundangan tentang pendidikan nasional.

Apakah kegiatan tersebut murni inisiatif MUI ataukah hanya pesanan pemerintah dalam rangka memberikan pengarahan terhadap umat Islam agar menerima setiap kebijakan yang diterapkan pemerintah?. Ilyas Ruhyat seorang ulama yang berkecimpung mulai dari MUI tingkat kabupaten, propinsi sampai MUI Pusat, mengemukakan argumennya sebagai berikut;

Semua program yang dilaksanakan oleh MUI pada dasarnya untuk mencari nilai manfaat bagi kepentingan umat Islam. Pada konteks kegiatan MUI di daerah, maka pelaksanaannya ditujukan untuk kepentingan masyarakat daerah setempat. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa ada beberapa program yang dilaksanakan oleh MUI tidak terlepas dari keinginan pemerintah untuk menggolkan kebijakan tertentu agar bisa diterima oleh masyarakat.

Kegiatan lainnya yang bersifat insidentil ternyata tidak hanya dilakukan dalam konteks regional maupun dalam negeri semata. Pada periode MUI tahun 1975 – 1980 MUI telah mulai mengadakan kontak dengan umat Islam di luar negeri dan mengikuti kegiatan Islam internasional diantaranya, Kongres Risalatul Masjid di Mekkah pada bulan Sepetember 1976, Festival Kebudayaan Islam di London pada tahun 1975, Konferensi Islam se-Dunia di Kairo pada bulan Oktober 1977, dan konferensi Islam se-Asia di Karachi pada bulan Juli 1978.

Dari semua kinerja MUI pada periode 1975 – 1980 tampak bahwa MUI mencoba untuk mengambil suatu sikap yang kritis dan konstruktif. Realisasi program kerja tidak hanya menyangkut mengupayakan eksistensi MUI di dalam negeri tetapi sudah mengarah kepada membuka jaringan kerjasama dengan ulama-ulama di Timur Tengah. Suatu hal yang perlu dicatat, bahwasannya rentang waktu 1975 -1980, bagi MUI adalah periode penanaman kepercayaan kepada masyarakat dan pemerintah. Keberadaan MUI berada pada periode kritis hubungan Islam dan negara. Konsekuens dari keadaan tersebut mengharuskan organisasi ini berada pada kubu pengharapan pemerintah dan ketidakpercayaan akan independensi penuh para ulama dari komunitas masyarakat muslim.

Munas II MUI pada tahun 1980 di Jakarta secara aklamasi tetap memilih Buya Hamka sebagai ketua umumnya. Munas ini berhasil pula menyempurnakan Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga MUI, merumuskan program kerja, dan sejumlah rekomendasi.

Pada dasarnya kebijakan dan kegiatan periode ini melanjutkan apa yang telah diputuskan dan dirintis periode sebelumnya. Pelaksanaan Rakernas I dilaksanakan pada tahun 1981 dengan agenda membahas program organisasi, masalah kesekretariatan, penelitian pengembangan, fatwa dan hukum, kerukunan hidup antarumat beragama, pembinaan generasi muda, dan hubungan ulama dan pemerintah, serta hubungan luar negeri.

Rakernas ke-2 dilaksanakan pada tahun 1982. Rumusan yang dilakasanakan dalam Rapat Kerja ke-2 ini tidak ada perubahan yang berarti. Perbedaannya dari segi peserta lebih diperluas dengan mengikutsertakan pimpinan Majelis Ulama Daerah Tingkat II. Diikutserakannya Majelis Ulama Daerah dengan maksud agar program MUI lebih luas jangkauannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Pada Rakernas ke-2 ini, pucuk pimpinan MUI telah diganti. Buya Hamka diganti oleh Syukri Gazali, seorang ulama konservatif dari NU. Hamka diganti oleh Syukri Gazali karena ia mengundurkan diri sehubungan dengan kasus Fatwa Natal.

Peristiwa ini pula rupanya yang mengilhami Syukri Gazali untuk melibatkan ulama daerah pada Rakernas MUI ke-2. Upaya ini ditempuhnya sebagai langkah awal konsolidasi ulama daerah dengan ulama pusat atas pertimbangan pemerintah.

Menindaklanjuti Rakernas ke-2, pada tahun 1984 diadakan Rakernas MUI ke-3. Rakernas ini menitikberatkan pada upaya pemantapan organisasi, peningkatan peran ulama dan zu’ama, serta umat Islam pada umumnya dalam pembangunan nasional.

Hal menarik yang perlu diungkapkan selama periode II kepengurusan MUI tahun 1980 – 1985 adalah pergantian pucuk pimpinan. Pergantian pucuk pimpinan MUI dari Hamka ke Syukri Gazali tidak berlansung sampai masa akhir kepengurusan. Syukri Gazali meninggal dunia dan digantikan oleh K.H Hasan Basri. Tipologi kepempimpinan dari ketiga tokoh tersebut terdapat perbedaan yang sangat menyolok. Hamka adalah pribadi yang tegas, Syukri Gazali berkecenderungan pendiam, dan KH. Hasan Basri terkesan sangat akomodatif terhadap kepentingan pemerintah.

Kinerja penting yang menandai periode 1980 – 1985 adalah dibukanya kerjasama MUI dengan Kopkamtib dalam menangani berbagai masalah ketahanan nasional. Beberapa kasus yang melibatkan sekelompok umat Islam telah memberikan pengertian yang salah bagi pemerintah, bahwa Islam fundamentalis dan merongrong kewibawaan pemerintah RI. Untuk itulah pihak Dephankam menarik MUI untuk terlibat di dalam penyelidikan masalah tersebut.

Kegiatan lain yang cukup penting bagi MUI dan merupakan peletak dasar kekuatan intelektual muslim adalah Pertemuan I Cendekiawan Muslim. Pertemuan ini diadakan pada bulan Desember 1984 bekerjasama dengan LP3ES, PPA, UIA, UIKA dan LSAF. Keputusan dari pertemuan ini dirumuskan perlunya dibentuk tim konsultasi cendekiawan muslim baik tingkat pusat maupun daerah guna menjawab problem umat dalam pembangunan.

Pada tahun 1985, MUI mengadakan kembali pertemuan dengan para cendikiawan Muslim. Hasil dari pertemuan ini merumuskan pendapat bahwa kedudukan MUI harus dipertegas sebagai penghubung antara umat Islam dan pemerintah disamping fungsi lain sebagai penggerak ukhuwah, dakwah dan pendidikan.

Pada tanggal 19 - 23 Juli 1985 di Jakarta berlangsung Munas III MUI. Munas tersebut menghasilkan kepengurusan baru MUI periode 1985 - 1990 di bawah kepemimpinan Hasan Basri. Pada periode ini tampaknya MUI mengambil strategi lebih akomodatif terhadap pemerintah. Hal ini ditandai dengan diterimanya asas Pancasila secara mudah oleh MUI.

Kinerja MUI pada periode ini berbeda dengan periode sebelumnya yang memfokuskan masalah nasehat dan fatwa. Pada periode ini penekanan fungsi MUI mengutamakan kepada segi pembinaan dan bimbingan umat. Kegiatannya difokuskan kepada dakwah Islamiyah, ukhuwah Islamiyah, konsultasi antar umat beragama, pengkajian dan pemecahan masalah keagamaan serta kemasyarakatan.

Kinerja MUI yang cukup menonjol pada periode ini adalah dengan dibentuknya lembaga Pengkajian Makanan, Obat-obatan dan kosmetika. Lembaga ini bertujuan untuk mengawasi peredaran makanan dan obat-obatan agar memenuhi standar halal yang ditetapkan MUI. Kehadiran lembaga ini disambut antusias umat Islam.

Pada periode ini, kinerja MUI diwarnai pula oleh berbagai kegiatan kerjasama antara MUI dengan instansi pemerintah. Tampaknya MUI pada periode ini memfokuskan diri agar mendapat dukungan dari pemerintah dengan melakukan kerjasama dalam berbagai bidang. Misalnya kerjasama di bidang dakwah, ukhuwah islamiyah, haji, dan pendidikan, MUI bekerjasama dengan Departemen Agama. Kerjasama dengan Departemen Kesehatan meliputi bidang imunisasi, gizi, dan kesehatan anak. Pada bidang hukum, MUI bekerjasama dengan Departemen Kehakiman, serta kerjasama lainnya dilakukan oleh MUI dengan Departemen Transmigrasi, BKKBN, serta Departemen Koperasi.

Sejumlah kinerja tersebut yang menarik untuk dikaji adalah masalah responsi MUI terhadap sejumlah kebijakan yang dinilai publik Islam merugikan umat. Seperti telah di singgung pada bab terdahulu, terdapat sejumlah kebijakan pemerintah Orde Baru yang merugikan umat Islam sehingga menyebabkan ketidakharmonisan hubungan umat Islam dan pemerintah. Fakta responsi MUI terhadap kebijakan pemerintah akan memberikan gambaran terhadap sejumlah sikap ulama dan eksistensi ulama dalam konstelasi politik Orde Baru dalam kehidupan kebangsaan. Hal ini juga akan memberikan sejumlah gambaran tentang peran ulama Orde Baru dalam mewujudkan kondusifitas hubungan umat Islam dan negara. Analisis masalah ini dipaparkan lebih lanjut pada Bab IV.

2.2 Fatwa MUI

Fatwa MUI merupakan bagian akhir dari pendirian ulama terhadap suatu masalah tertentu dan memberikan nasihat kepada pemerintah tentang peraturan hukum agama untuk dipertimbangkan dalam menyusun suatu kebijakan. Fatwa MUI dikeluarkan atas inisiatif sendiri ataupun saran dan masukan dari masyarakat, organisasi keilslaman lainnya, bahkan dari pemerintah. Oleh karena itu karena Fatwa MUI memiliki kekuatan hukum dan moral bagi umat Islam, kekuatan dari eksintensi MUI dinilai dari sikap/pendapat MUI dalam bentuk fatwa.

Sejumlah fatwa dan pernyataan sikap serta implimentasi sejumlah program kerja MUI memperlihatkan sejauhmana hubungan antara ulama dan pemerintah. Sikap dan kebijakan MUI terkadang tarik ulur dengan kepentingan pemerintah. Disatu pihak ada kenyataan bahwa pemerintah senantiasa menunjukkan penghargaan yang tinggi terhadap MUI dan memberikan bantuan keuangan, tetapi dipihak lain MUI selalu berada di bawah tekanan untuk membenarkan politik pemerintah dilihat dari sudut agama[4].

Penyusunan dan pengeluaran fatwa-fatwa MUI dilakukan oleh Komisi Fatwa. Komisi ini diberi tugas untuk merundingkan dan mengeluarkan fatwa mengenai persoalan-persoalan hukum Islam yang dihadapi masyarakat. Persidangan-persidangan Komisi Fatwa diadakan menurut keperluan atau bila MUI diminta pendapatnya oleh umum atau pemerintah mengenai persoalan tertentu. Untuk mengeluarkan suatu fatwa, MUI mengadakan persidangan selama satu kali atau bahkan beberapa kali. Dalam persidangan untuk menghasilkan sebuah fatwa disamping hadir para ketua dan anggota dari Komisi Fatwa juga hadir para ulama bebas dan ilmuan sekular, yang ada hubungannya dengan masalah yang dibicarakan[5].

Adanya kecenderungan MUI dalam mengeluarkan fatwanya bersifat pasif, timbul suatu penilaian bahwa, fatwa yang dikeluarkan MUI adalah sebagai alat untuk menjustifikasi kebijakan-kebijakan pemerintah, misalnya fatwa tentang Keluarga Berencana (KB). Sehingga terhadap fatwa semacam ini menimbulkan pertentangan pandangan dalam tubuh MUI yang di dalamnya terdapat elemen-elemen ulama, dan kritikan publik terhadap MUI.

Mengenai kontroversi sebuah fatwa, Ibrahim Husen mengatakan:

Fatwa yang dikeluarkan oleh MUI itu merupakan hasil pemikiran secara seksama antara ulama yang ada di MUI khususnya Komisi Fatwa. Kalau selanjutnya ada fatwa yang kontroversi, itu lebih karena interpretasi terhadap landasan dalil-dalil yang dijadikan argumen sebuah fatwa. Ulama yang komit terhadap tanggungjawab keumatan, tentu akan lebih mementingkan kebenaran dan kemaslahatan dari fatwa yang dikeluarkan. Tidak bisa dipungkiri sepanjang berdirinya MUI, ada fatwa yang dianggap lebih condong kepada pemerintah. Kenyataan inilah yang sulit difahami keinginan dari pemerintah dan kekhawatiran umat Islam akan dampak yang ditimbulkan

Fatwa merupakan simpulan akhir dari pendapat MUI, untuk menghindari kontroversi sebuah fatwa, sebenarnya telah ditetapkan prosedur penetapan fatwa. Menurut prosedurnya fatwa mengenai masalah yang berkenaan dengan kepentingan umat secara nasional ditetapkan oleh MUI Pusat dan mengenai masalah daerah ditetapkan oleh MUI Daerah yang bersangkutan. Ketetapan suatu fatwa ditentukan oleh Dewan Pimpinan MUI setelah dibahas di Komisi Fatwa. Selanjutnya oleh Dewan Pimpinan, fatwa tersebut disampaikan kepada pemerintah atau kepada masyarakat luas[6]. Meskipun demikian, karena fatwa yang di keluarkan MUI sifatnya dilakukan oleh lembaga formal tempat berhimpunnya para ulama dari berbagai elemen ormas Islam, kontroversi sebuah fatwa tetap terjadi. Kontroversi Fatwa MUI memperlihatkan sejumlah kepentingan politis pemerintah terhadap umat Islam, juga menggambarkan sampai sejauhmana kekuatan prinsip ulama terhadap keinginan pemerintah dalam melegitimasi suatu kebijakan menyangkut umat Islam.

Prinsip ulama terhadap suatu masalah adakalanya dilakukan tidak menggunakan fatwa, tetapi bersifat keputusan. Hal ini tampaknya dilakukan oleh MUI mengingat kadar sebuah fatwa lebih kuat dan menyangkut masalah ibadah. Biasanya sikap ulama MUI dalam bentuk keputusan ditujukan kepada hal-hal yang erat kaitannya dengan masalah kebangsaan. Rupanya hal ini dilakukan untuk menjaga keharmonisan hubungan MUI dan pemerintah.

Fatwa yang di keluarkan oleh MUI dapat di golongkan ke dalam lima bidang masalah yakni, mengenai masalah ibadah, seni-budaya, politik, dan sosial kemasyarakatan, dan faham keagamaan. Berikut ini tabel yang memperlihatkan fatwa-fatwa MUI:

Tabel 1. Penggolongan dan Produktivitas Fatwa MUI

Tahun 1975 –1990

Tahun

Ibadah

Seni Budaya

Kebijakan Politik Pemerintah

Sosial Kemasyarakatan

Faham Keagamaan

Jumlah

1975

TF

TF

TF

TF

TF

0

1976

2

1

TF

3

TF

6

1977

1

TF

TF

1

TF

2

1978

1

TF

1

1

1

2

1979

3

TF

TF

2

1

4

1980

TF

TF

TF

5

1

6

1981

3

TF

TF

4

TF

7

1982

TF

TF

TF

4

TF

4

1983

2

1

TF

2

1

6

1984

1

TF

TF

3

1

5

1985

TF

TF

TF

TF

TF

0

1986

TF

TF

TF

TF

TF

0

1987

TF

TF

TF

1

TF

1

1988

TF

TF

TF

2

TF

2

1989

TF

TF

TF

TF

TF

0

1990

TF

TF

TF

TF

TF

0

Jumlah

13

2

1

26

4

45

Keterangan: TF; Tidak mengeluarkan fatwa .

Sumber: Data diolah dari Himpunan Keputusan dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Tahun1994. Lebih lanjut tentang permasalahan yang difatwakan lihat lampiran 3 !

Seperti tampak dalam tabel, fatwa-fatwa yang di keluarkan MUI relatif sedikit dibanding kompleksitas permasalahan kemasyarakatan baik dalam urusan ibadah maupun sosial. Fatwa MUI pada dekade 1970-an dibanding dekade 80-an, fatwa pada dekade 1980-an tampak tidak begitu produktif. Mengapa demikian? Tampaknya MUI ingin menghindari pengeluaran fatwa terlampau banyak. MUI terlampau sering mendapat kritikan dan gagal dalam mengadakan pilihan yang tepat terhadap persoalan-persoalan yang difatwakan, seperti fatwa tentang tinju. Sebab lainnya adalah sifat hubungan antara MUI Pusat dengan MUI Daerah dalam mengeluarkan sebuah fatwa. Kewenangan MUI Daerah untuk dapat mengeluarkan fatwa berdasarkan karakterstik daerah setempat, terkadang berpengaruh secara nasional seperti halnya fatwa kodok[7].

Hal yang menarik dari fatwa MUI adalah derajat keterpengaruhan dari pemerintah. Seperti telah disinggung di muka, bahwa fatwa MUI juga berperan sebagai legitimasi formal bagi kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Terhadap kebijakan tertentu khususnya yang melibatkan umat Islam secara khusus, pemerintah meminta bantuan MUI untuk mengeluarkan fatwanya.

Tabel berikut menggambarkan derajat keterpengaruhan pemerintah terhadap Fatwa MUI,

Tabel 2: Derajat Keterpengaruhan Pemerintah

Terhadap Fatwa MUI

F+I FO F-I

*__________________________*_________________________* Keterangan:

F + I : Tempat kedudukan fatwa dengan pengaruh yang terkuat dari

pemerintah.

FO : Fatwa yang bersifat netral

F – I : Tempat kedudukan fatwa dengan pengaruh pemerintah yang terkecil

Berdasarkan penelitian Atho Mudhar, sepanjang tahun 1975 – 1988, terdapat 8 fatwa yang mendapat pengaruh besar dari pemerintah, yakni:

1. Tempat miqat (berganti pakaian pada saat ibadah haji dengan menggunakan kain ihram/kain putih yang tidak dijahit dan dililitkan ke tubuh) di Jedah dan Bandara Udara.

2. Penjatuhan talaq tiga sekaligus.

3. Penyembelihan hewan qurban dengan mesin.

4. Pembudidayaan dan memakan daging kodok.

5. Keluarga Berencana.

6. Penggunaan IUD.

7. Gerakan Syiah di Iran.

8. Hukum makan daging kelinci.

Sedangkan fatwa yang relatif sangat kecil mendapat pengaruh dari pemerintah adalah fatwa tentang; (1) haramnya penguguran kandungan, (2) Larangan vasektomi dan tubektomi, (3) larangan bagi kaum muslimin hadir dalam perayaan Natal[8].

Reaksi masyarakat terhadap fatwa-fatwa tersebut mempunyai kadar responsi yang berbeda. Hal yang paling menyolok mendapat reaksi dari masyarakat antara lain fatwa yang berhubungan erat dengan masalah kependudukan. Masyarakat menganggap bahwa MUI telah terjebak kepada keinginan pemerintah untuk mengeluarkan fatwa yang mendukung lancarnya program keluarga berencana. Terhadap fatwa ini banyak da’i yang melakukan protes keras terhadap MUI dalam khutbah-khutbahnya, seperti yang di lakukan oleh H. Salim Qadar, tokoh Banten yang juga Ketua III KMI[9]. Fatwa lainnya yang mendapat respons besar dari masyarakat adalah mengenai fatwa pembudidayaan dan memakan daging kodok. Fatwa ini menjadi kontroversi karena masalah fatwa masalah kodok ini yang semula di keluarkan oleh MUI Sumatera Barat ternyata menjadi perbincangan umat secara nasional. Kekagetan umat Islam terhadap fatwa ini karena menganggap ketidaklaziman terhadap budi daya kodok. Masyarakat menuding fatwa ini hanya untuk mendukung program pemerintah khususnya Departemen Pertanian tentang budi daya kodok[10].

Dampak secara lebih luas sebagai ekses dari fatwa yang dikeluarkan oleh MUI menimbulkan fluktuatif hubungan antara Islam dan negara sekaligus menggambarkan sejauh mana peran ulama dalam memandang realitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Seperti digambarkan tadi, terdapat pula fatwa MUI yang bersifat politis yaitu fatwa tentang Sidang Umum MPR tahun 1978. Ini berarti MUI telah ikut dalam urusan kenegaraan. Alasan yang mendasar bagi MUI untuk mengeluarkan fatwa tentang SU MPR adalah situasi dan kondisi yang menghangat pasca Pemilu 1997 yang untuk kedua kalinya partai politik Islam mengalami kekalahan dan munculnya bermacam-macam pernyataan dari MUI Daerah tentang dampak pemilu dan harapan akan hasil Sidang Umum yang lebih akomodatif[11].

Kekhawatiran dari umat Islam akan Sidang Umum MPR 1978 ketika munculnya kabar akan di masukkannya Aliran Kepercayaan dalam GBHN, rencana sumpah dan janji para penganut kepercayaan dengan menggunakan tata cara tersendiri, dan dirumuskannya Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Permasalahan ini menjadi kekhawatiran bagi kalangan Islam akan terjadinya sekularisassi agama[12]. Tentu saja bagi MUI permasalahan tersebut merupakan permasalahan yang sangat esensial. Oleh karenanya MUI memandang perlu untuk mengeluarkan fatwa SU MPR 1978.

Adanya fatwa ini bagi pemerintah adalah sesuatu yang sangat menguntungkan. Karena ulama telah menghimbau kepada umatnya untuk dapat menyukseskan Sidang Umum MPR 1978. Apakah dengan dikeluarkannya fatwa ini sebagai respon kritis MUI ataukah sebuah legitimasi ulama untuk lancarnya program pemerintah ?. Tampaknya yang menjadi latarbelakang yang esesnsial dikeluarkannya fatwa ini adalah dampak dari kemenangan Golkar pada pemilu 1977 yang telah mengantarkan golongan non santri duduk di dalam lembaga legislatif maupun eksekutif. Golongan Islam sangat hawatir akan terjadinya sekulerisasi bahkan Kristenisasi dengan adanya bukti akan di masukannnya aliran kepercayaan ke dalam GBHN dan juga masalah P4. Bagi MUI, terciptanya suasana stabil akan dapat mampu lebih mengakomodatifkan kepentingan umat di dalam SU MPR.[13]

Persoalan lain yang kontroversi menyangkut Fatwa bidang sosial yaitu Porkas; suatu kupon undian yang diharapkan mampu memberikan sumbangan /tambahan bagi pendanaan kegiatan olah raga khususnya sepakbola. Perkembangan selanjutnya Porkas berganti nama menjadi Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB). Pola penjualan kupon ini ternyata mengandung unsur untung-untungan, yang dalam kacamata agama dikategorikan bentuk judi dan hukumnya haram. Oleh karena itu kebijakan SDSB ini mendapat pertentangan keras dari umat Islam. Beberapa ormas Islam telah melakukan sikapnya dengan mengatakan SDSB itu haram. Sikap serupa ditunjukkan pula oleh MUI daerah Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Yogyakarta. Terhadap masalah ini, MUI pusat yang notabene refresentasi wakil ulama Islam tingkat nasional bertindak diam.

Ibrahim Husen salah seorang Ketua MUI komisi Fatwa malahan menilai bahwa Porkas bukan perjudian karena para pembeli kartu undian tidak berada pada satu tempat. Pernyataan ini menimbulkan kontroversial dan caci maki terhadap MUI. Pada saat itu ternyata hubungan MUI dengan pemerintah lebih tampak kooptasi pemerintah terhadap MUI, sehingga MUI berada pada posisi terjepit dan lebih banyak mengambil sikap diam. Hasan Basri Ketua Umum MUI waktu itu mengakui bahwa MUI berada pada posisi sulit apabila nyata-nyata kebijakan pemerintah bertentangan dengan kaidah prinsip nila-nilai keislaman.

3 Format Kepolitikan Orde Baru

3.3.1 Pembentukan Format Baru Politik Indonesia.

Periodesasi perjuangan bangsa Indonesia dalam mengisi kemerdekaan sejak proklamasi hingga kokohnya pemerintah Orde Baru tidak terlepas dari pergumulan idiologi kebangsaan. Ide dasar penciptaan masa depan Indonesia yang telah mengalami perdebatan ideologis secara aktual tersebut telah melahirkan dikotomik pandangan ideologi. Perdebatan ideologis melahirkan sejumlah “eksperimen” sistem kenegaraan. Tentang eksperimen ini acapkali disebutkan, khususnya dalam berbagai literatur sejarah untuk pendidikan sekolah tingkat dasar hingga menengah senantiasa disebutkan, kegagalan penerapan sitem kenegaraan pada dua dasa warsa pertama kemerdekaan Indonesia sebagai akibat tidak cocoknya dengan kultur bangsa Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika. Alasan kultural inilah yang menjadi kekuatan bagi pemerintahan Soekarno untuk menggagalkan sidang konstituante[14] dengan mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menganjurkan sidang konstituante untuk kembali kepada Pancasila dan UUD 1945 ternyata tidak dilaksanakan. Soekarno malah mengedapankan Demokrasi Terpimpin dengan ide Nasakomnya.

Puncak penyelewengan cita-cita pelaksanaan Pancasila dan UUD1945 adalah dengan terjadinya tragedi 30 September 1965. Peristiwa ini mengharuskan Presiden Soekarno membuat surat perintah kepada Letjen Soeharto sebagai Pangkostrad waktu itu untuk dapat memulihkan keamanan dan gejolak sosial yang menyertainya. Surat perintah tersebut selanjutnya terkenal dengan Supersemar[15]. Diterimanya Supersemar oleh Letjen Soeharto menandai babak baru pemerintahan Indonesia. Mandat Presiden Soekarno berhasil dilaksankan oleh Soeharto dengan mengkonsolidasikan kekuatannya dan secara bertahap berhasil mengontrol situasi yang akhirnya berhasil mengambil alih kekuasaan dari pemerintah Orde Lama pada tahun 1966. Selanjutnya pada tahun 1967 Soeharto diangkat menjadi Pejabat Presiden melalui Tap MPRS No. /MPRS/1967 dan satu tahun kemudian diangkat menjadi presiden RI kedua.

Beralihnya kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto telah melahirkan tatanan pemerintahan baru yang terkenal dengan Orde Baru. Ciri pokok pemerintahan Orde Baru adalah pembangunan politik Pancasila dan perencanaan perubahan masyarakat secara bertahap yang tertuang di dalam konsepsi pembangunan nasional. Pemerintah menetapkan faktor stabilitas nasional, stabilitas politik, penyederhanaan partai, tanggungjawab dan disilipn nasional serta keamanan nasional sebagai faktor terpenting dan esensial bagi pembangunan nasional yang disusun, dirumuskan dan dilaksanakan berdasarkan Pancasila.

Ada dua hal penting yang dijadikan acuan di dalam merumuskan format politik Orde Baru yakni, pertama, format politik yang hendak dibangun berangkat dari kerangka kerja konstitusional, yakni berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Bangunan politik yang hendak di operasionalkan merupakan manifestasi dari konstitusi yang disepakati bersama. Dengan demikian asas legalitas menjadi acuan pokok dalam berperilaku politik. Kedua, Format politik itu merupakan penopang atau sebagai pra kondisi bagi terlaksananya pembangunan ekonomi. Pembeda yang paling utama antara Orde Lama dan Orde Baru adalah pada masa Orde Baru lebih berkecenderungan menekankan pembangunan ekonomi yang berorientasi ke luar ( out ward looking development ), sementara Orde Lama lebih diarahkan ke dalam (in ward looking development) sebagaimana terlihat pada program nasionalisasi ekonomi dan pemberian fasilitas bagi pengusaha pribumi[16]

Penciptaan format politik baru tersebut bersamaan dengan terbentuknya optimisme masyarakat akan kehidupan baru yang lebih baik dan lebih aman. Format politik yang tercipta telah melahirkan beberapa ciri politik Orde Baru, antara lain[17]:

1. Militer umumnya mempunyai peranan yang sangat kuat di dalam eksekutif dan menjadi satu-satunya pemain utama di atas panggung politik nasional. Legitimasi militer dihadirkan melalui konsep Dwi Fungsi ABRI.

2. Membangun jaringan politik sipil sebagai perpanjangan tangan ABRI melalui Golkar.

3. Penjinakan radikalisme dalam politik melalui proses depolitisasi massa.

4. Pendekatan keamanan lebih dominan dibanding dengan pendekatan kesejahteraan dalam pembangunan politik untuk menciptakan stabilitas politik.

5. Menggalang dukungan masyarakat melalui organisasi-oragnisasi sosial dalam jaringan korporatis . Korporatisme negara menyerap semua unsur dalam masyarakat, menjadikan birokrasi sebagai yang dilayani masyarakat. Posisi masyarakat sangat lemah, dalam setiap pengambilan keputusan nasional masyarakat hampir belum pernah dilibatkan.

Terwujudnya politik Orde Baru semacam itu tidak bisa dilepaskan dari ciri patrimonial birokrasi Orde Baru. Birokrasi patrimonial sifatnya dicirikan oleh hubungan kekuasaan yang diatur mengikuti hubungan pribadi antara “bapak” dan “anak buah”. Struktur politiknya mempunyai ciri kekuasaan dan kekayaan dipusatkan pada sekelompok elit penguasa dengan tujuan mempertahankan kekuasaannya di masyarakat seraya membatasi pembagian hak-hak istimewa dalam bidang politik dan ekonomi kepada pihak diluar lingkaran penguasa. Dalam konsepsi seperti ini berdasarkan faktor kultural, maka pilihan elit merupakan mekanisme yang menentukan dalam sistem politik Orde Baru. Melalui pengendalian terhadap kekuatan penekan, elit negara mampu mewujudkan aparatur negara yang sangat taat sehingga tidak menghiraukan keinginan dari kekuatan kelompok sosial termasuk kelompok Islam.

Melalui format semacam itu akhirnya Orde Baru tumbuh sebagai pemerintahan yang kuat. Selama tiga dasa warsa berada di tampuk kekuasaan, ia telah berkembang menjadi keuatan raksasa (leviathan) sosial-budaya, ekonomi dan politik. Orde Baru telah berkembang menjadi aktor independen, mempunyai otonomi untuk mewujudkan kebijakan-kebijakannya kedalam bentuk tindakan-tindakan dengan cara yang diinginkannya.

3.2 Umat Islam dalam Dinamika Politik Masa Orde Baru

3.2.1 Kearah Terbentuknya Partai Politik Islam

Pemerintahan Soeharto yang dikenal dengan pemerintah Orde Baru pada awalnya bekerjasama dengan umat Islam sebagai kekuatan anti komunis. Dekatnya hubungan antara umat Islam dengan Orde Baru dapat ditunjukkan dengan dibebaskannya semua tahanan politik eks Masyumi seperti M. Natsir, Syarifudin Prawiranegara, dan Burhanudin Harahap. Mereka adalah tahanan politik Orde Lama selama lima tahun

Kedekatan hubungan umat Islam dengan pemerintah Orde Baru melahirkan sebuah harapan masa depan cerah bagi kehidupan politik umat Islam. Semangat umum yang mendasari para pemimpin politik umat Islam pada waktu itu adalah mewujudkan demokrasi. Peran penting umat telah membangkitkan rasa percaya diri untuk tampil kepermukaan. Tumbangnya PKI dalam pentas politik nasional merupakan salah satu hasil perjuangan umat Islam.

Kekuatan politik umat Islam di tingkat nasional memperlihatkan usaha-usaha untuk menempatkan kembali posisi politiknya. Sepanjang tahun 1968 dan 1969 partai Islam mensponsori peringatan Hari Piagam Jakarta tiap tanggal 22 Juni. Isu ini mampu merapatkan barisan kekuatan umat Islam baik tradisional (NU) maupun modernis (mantan Masyumi) yang sebelumnya mengalami keretakan

Usaha-usaha keras memperjuangkan Piagam Jakarta terus dilakukan oleh para pemimpin politik Islam. Mereka memperjuangkan Piagam Jakarta ke dalam agenda Sidang Umum MPRS 1968 melalui Komisi II. Akan tetapi usaha ini mendapat tantangan dari PNI, Kelompok Kristen, dan wakil ABRI. Hingga akhirnya pimpinan MPRS memutuskan untuk menunda pembicaraan mengenai GBHN

Usaha yang dilakukan umat Islam pada SU MPRS 1968 menambah kuat kekhawatiran pemerintah akan timbulnya kembali kekuatan-kekuatan yang meragukan keberadaan Pancasila dan UUD 1945 sebagai falsafah hidup dan dasar Negara Indonesia. Bila pemerintah mengabulkan keinginan umat Islam, bukan tidak mungkin akan muncul kembali kekuatan ideologi lain yang menginginkan perlakuan yang sama. Untuk mengantisipasi masalah ini pemerintah Orde Baru melakukan strategi pembentukan konfederasi Golongan Karya sebagai mimbar politik daripada memihak kepada partai politik yang ada.

Keinginan keras umat Islam untuk memperjuangkan Piagam Jakarta -sebagai sebuah simbol dasar keislaman- dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, adalah bagian dari strategi dalam mengartikulasikan kepentingan umat Islam melalui instrumen partai politik. Banyak ormas Islam yang meninggalkan Sekber Golkar sebagai mesin pemilu Orde Baru. Sekitar 13 ormas Islam melepaskan diri dari Sekber Golkar, akibatnya Golkar diisi oleh kelompok nasionalis sekuler dan Kristen[18]. Mereka meninggalkan Sekber Golkar dengan keyakinan penuh bahwa dalam memperjuangkan aspirasi Islam akan lebih tepat melalui wadah partai Islam daripada Golkar yang sangat plural.

Pandangan demikian pada saat itu mencerminkan karakteristik umat Islam. Ada dua karakteristik umat Islam dalam kehidupan kebangsaan[19]. Pertama, sosialisasi dan institusionalisasi. Pada aspek ini pandangan umat Islam terbagi dua, yaitu Islam kultural dan Islam struktural yang menekankan pada perubahan kesadaran dan tingkah laku umat tanpa keterlibatan negara dan tanpa perubahan sistem nasional menjadi sistem Islami. Kedua, Gerakan Islam bersifat Islam Kultural dan Islam politik. Secara kultural perjuangan Islam dilakukan melalui gerakan non politik, sementara Islam politik perjuangannya diwujudkan melalui parpol Islam yang diidentifikasikan melalui nama, asas, tujuan, ataupun simbol keislaman lainnya.

Para pemimpin politik Islam memiliki anggapan kuat, bahwa konstelasi politik waktu itu merupakan momentum yang tepat untuk mengartikulasikan kepentingan umat Islam. Dengan strategi tersebut diharapkan umat Islam mampu bersaing dalam pemilu yang kompetitif.

Kebutuhan untuk membangun parpol Islam yang baru merupakan keinginan sejumlah tokoh umat Islam khususnya dari kalangan modernis. Mereka menginginkan dengan dibentuknya partai Islam yang baru dapat mengakomodasikan aspirasi politik Islam di luar tiga partai politik Islam yang telah ada yakni, NU, PSII, dan Perti. Mantan wakil Presiden RI, Muhammad Hata dan para pendukung muslimnya berinisiatif untuk mendirikan Partai Demokrasi Islam Indonesia (PDII). Untuk menggolkan maksudnya ini, berbagai upaya dilakukan termasuk meminta dukungan terhadap Soeharto. Dukungan ini dimaksudkan agar kemungkinan kecil para pejabat lokal menentang keberadaan PDII .

Dalam surat balasannya atas ‘proposal’ Hatta untuk mendirikan PDII, Soeharto memberikan komentar:

PDII tidak akan dapat menyatukan dan mengakomodasikan semua kekuatan Islam di luar partai-partai Islam yang ada, mengingat sejumlah reaksi terhadap gagasan berdirinya partai itu tidak positif. Semua ini menunjukkan gejala yang bisa menandai kesulitan bagi stabilitas politik....

Pernyataan Soeharto yang demikian itu membuat kecewa umat Islam. Setelah gagal melalui PDII upaya lain yang dilakukan adalah dengan keinginan menghidupkan kembali Partai Islam Indonesia (PII) yang didirikan oleh para pemimpin Muhammadiyah pada tahun 1938. PII yang dihidupkan kembali ini, tidak mencitrakan Masyumi, melainkan memberi jalan kepada kelompok Muslim modernis lainnya yang menuntut perbaikan Partai Masyumi. Konsekuensi dari sikap ini, keinginan menghidupkan kembali PII gagal. Tokoh Ulama M. Natsir berhasil membujuk para tokoh Muhammadiyah untuk mendukung ide rehabilitasi Masyumi daripada pendirian kembali PII

Sebagai upaya ke arah rehabilitasi Masyumi, para tokoh Muslim membentuk Badan Koordinasi Amal Muslim (BKAM). Mereka melobi pemerintah dan mengeluarkan pernyataan tentang perlunya rehabilitasi Masyumi. Tetapi ternyata pemerintah masih memandang Masyumi dengan ‘dosa-dosanya’ pada masa lalu

Pemerintah dalam surat Jawabannya tanggal 6 Januari 1967 yang ditujukan kepada Prawoto Mangkusasmito, mengatakan:

Pada kesempatan ini, saya juga ingin berterus terang menjelaskan kepada saudara, bahwa baik ABRI keseluruhan angkatan maupun keluarga prajurit-prajurit sungguh-sungguh telah memberikan banyak pengorbanan untuk menumpas pemberontakan itu... saya berharap saudara bisa memahami pemerintah pada umumnya dan ABRI pada khususnya, terhadap bekas partai politik Masyumi . Alasan juridis, ketatanegaraan, dan psikologis telah mebawa ABRI tidak dapat menerima rehabilitasi Partai Masyumi

Tentu saja dengan penolakan tersebut mengindikasikan pemerintah tetap pada pendirian bahwasannya para pemimpin Masyumi terlibat dalam pemberontakan PRRI tahun 1958. Adanya rehabilitasi Masyumi pemerintah meyakininya akan menghidupkan kembali gerakan Masyumi baru yang merupakan ancaman politik. Sikap pemerintah yang demikian ini membuat para pemimpin dan anggota eks Masyumi terpaksa menerimanya sebagai realitas politik.

Hasrat umat Islam untuk bisa berpartisipasi dalam kehidupan politik kenegaraan melalui upaya-upaya pendirian dan rehabilitasi partai Islam tetap ditolak oleh pemerintah. Pemerintah Orde Baru memilih mengedepankan kelompok kekaryaan karena dianggap lebih menyokong kepentingan pembangunan nasional daripada golongan partai politik yang dianggapanya mementingkan kepentingan ideologi. Padahal terdapat reaksi publik agar pemerintah Orde Baru bisa merehabilitasi parpol yang dibekukan. Reaksi opini teraktualisasi dalam bentuk diadakannya berbagai seminar seperti yang dilakukan oleh UI, KASI, dan LIPI yang pada intinya mendukung rehabilitasi. Bahkan dalam seminar AD II di Bandung dibicarakan hal yang sama. Dua petinggi AD Letjen Soedirman dan A.H Nasution melalui Badan Koordinasi Amal Muslim (BKAM) mendukung upaya ini. Padangan lain berasal dari Persatuan Ahli Hukum Indonesia (Persahi) yang menegaskan bahwa pembekuan Masyumi adalah ilegal dan inkonstitusionil. Rehabilitasi Parpol tersebut justru akan memeprkokoh sistem demokrasi Orde Baru.

Ada dua alasan pokok larangan pemerintah Orde Baru terhadap berbagai upaya dan usaha konsolidasi partai politik Islam. Pertama, terdapat perasaan anti partai yang meluas dikalangan inti koalisi Orde Baru, terutama perwira Angkatan Darat dan kaum intelektual Orde Baru. Kedua, adanya orang-orang disekeliling Soeharto yang didominasi tokoh-tokoh yang tidak simpati terhadap Islam.

Para pemimpin Muslim baru menyadari sikap politik Orde Baru itu sejak tahun 1968. Mereka sadar bahwa mereka tidak dapat diterima sebagai mitra dalam kekuasaan negara dan Islam yang kuat secara politik tidak mempunyai tempat di dalam sistem politik Orde Baru.

Solusi yang diberikan pemerintah terhadap keinginan umat Islam dengan memberikan izin untuk terbentuknya partai baru, yaitu pendirian Partai Muslim Indonesia (Parmusi). Pendirian Parmusi dilakukan oleh kelompok tujuh yang diketuai oleh Prawoto Mangkusaswito (Pemimpin eks Masyumi) dan anggotanya terdiri dari KH. Faqih Usman, Anwar Haryono, Agus Sudono, Ny. Samsurizal, Marzuki Yatim, Hasan Basri dan E.Z Mutaqin. Mereka berharap Parmusi sebagai reinkarnasi dari Masyumi.

Niatan untuk menjadikan Parmusi sebagai reinkarnasi dari Masyumi menjadi kendala bagi mekanisme keorganisasiannya. Para perwira militer yang ikut mengendalikan kekuasaan pada masa awal pemerintahan Orde Baru yang umumnya mempunyai ikatan yang kuat dengan tradisi Jawa yang berlatar belakang kejawen menghendaki legalisasi bagi Parmusi ditunda sampai ada kepastian bukan Masyumi baru.

Pada tanggal 5 Februari 1968 pemerintah menyatakan bahwa Parmusi diizinkan berdiri dengan syarat tidak ada seorangpun mantan pemimpin Masyumi yang memegang peranan penting dalam Parmusi. Pada Kongresnya di Malang tanggal 4-7 November 1968 tokoh penting Masyumi, Moh. Roem terpilih sebagai Ketua Umum. Terpilihnya Roem ditolak oleh pemerintah. Setelah beberapa kali melobi, akhirnya keluar SK Presiden No. 70 Tahun 1968 yang menetapkan Djarnawai dan Kusumo sebagai Ketua dan Sekretaris. Akan tetapi meski telah di SK-kan oleh presiden sebagai pengurus Parmusi definitif, muncul kubu lain yang dimotori oleh H.J Naro dan Imran Kadir mempermasalahkan kepemimpinan Djarnawi. Djarnawi dianggap memusuhi ABRI. Manuver ini melahirkan konflik internal hingga keluar SK Presiden No. 77 yang menunjuk H.M.S Mintaredja seorang tokoh Muhammadiyah untuk memimpin Parmusi.

Konflik internal Parmusi agaknya tidak terlepas dari kepentingan pemerintah. Sebuah manajemen konflik yang cukup bagus dijalankan oleh pemerintah agar partai Islam tidak siap dalam menghadapi pemilu 1971. Adanya konflik di dalam tubuh parpol Islam yang diidentikan sebagai kelanjutan Masyumi melahirkan citra bagi parpol Islam sebagai kekuatan politik yang tidak siap dengan program pembangunan.

Pada pemilu 1971, memang parpol Islam yang ikut tidak hanya satu partai, akan tetapi ada empat partai, yaitu: Partai NU, PSII, dan Perti, semula ketiga partai ini bergabung dalam Masyumi, dan peserta lainnya adalah Parmusi. Jumlah partai seluruhnya yang ikut dalam pemilu tahun 1971 adalah sepuluh partai.

Pelaksanaan pemilu tersebut merupakan strategi pemerintah Orde Baru untuk dapat merubah sistem kepartaian guna mewujudkan stabilitas politik. Ada dua fungsi pelaksanaan pemilu yaitu simbul demokratisasi dan legitimasi rezim Orde Baru. Karenanya dilakukan berbagai upaya agar tongkat komando yang telah berada ditangan ABRI/AD tidak lepas begitu saja lantaran pemilu yang belum matang. Pemerintah Orde Baru saat itu menyadari bahwa legitimasi pemerintah yang dipegang militer bagaimananpun juga harus mendapatkan dukungan sipil. Umat Islam sebagai mayoritas masyarakat sipil adalah harus dapat dikuasai . Oleh karenanya dengan membentuk partai baru; Parmusi , pemerintah menciptakan asumsi bahwa aspirasi umat Islam tetap diperhatikan. Tampaknya upaya menciptakan Parmusi sebagai kekuatan umat Islam tidak berhasil sehingga penguasa Orde Baru menjatuhkan pilihan untuk membenahi kembali Sekber Golkar.

Mencermati fenomena awal kepolitikaan Orde Baru tersebut suatu hal yang perlu dicatat, bahwa kebijakan dan otoritas yang dijalankannya sangatlah kuat dalam mengayomi berbagai kekuatan politik yang akan dan telah ada. Pembentukan Parmusi menunjukkan bahwa partai baru ini tidak lepas dari kepentingan pemerintah. Independensi partai ini tidak ada, Parmusi tidak dapat mengatur dan menentukan persoalan-persoalan sendiri tanpa intervensi dan kontrol dari pemerintah. Pembentukan Partai baru harus dengan keputusan presiden menyebabkan adanya kontrol moral antara pemerintah dengan partai yang dibentuknya. Akibatnya partai menjadi pelayan kepentingan-kepentingan pemerintah bukan memenuhi kebutuhan masyarakat.

3.3.2.2 Kecurigaan Rezim Orde Baru Terhadap Komitmen Sejarah

Umat Islam

Setelah berhasil memenangkan pemilu secara mayoritas pada tahun 1977 dengan mengalahkan kekuatan partai Islam, rezim Orde Baru terus memperkokoh diri melalui jalur ABRI – Birokrasi- Golkar (ABG). Kekalahan partai Islam pada pemilu tahun 1977 terus berlanjut hingga Sidang Umum MPR tahun 1978. Pada SU MPR tersebut telah berhasil dirumuskan beberapa kebijakan pemerintah Orde Baru yang diwarnai beberapa ketegangan antara umat Islam dan pemerintah. Masalah aliran kepercayaan dan P4 telah menyita perhatian para ulama dan menuduh pemerintah mendiskreditkan umat Islam.

Sikap walk out para ulama Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dalam beberapa pembicaraan materi persidangan dipandang sebagai penghinaan terhadap pemerintah dan ideologinya. Refleksi kemarahan pemerintah terhadap perilaku PPP dapat dilihat dari pidato Presiden Soeharto di luar teks, 27 Maret 1980 di Pekanbaru. Presiden Soeharto mengatakan:

... dari perkembangan pembentukan Undang Undang Kepartaian dan Golongan Karya sampai kepada pelaksanaan SU MPR masih membuktikan akan keragu-raguan akan pancasila, terutama proses Ketetapan MPR No. II mengenai Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), sampai pada walk out . Begitu pula dari penyelesaiaan UU Pemilu –yang terakhir ini juga belum merupakan usaha bersama dan kesepakatan kita dan ada yang walk out. Karena itulah …Kita harus meningkatkan kewaspadaan memilih patner, kawan, teman yang benar-benar mempertahankan Pancasila dan tidak sedikitpun ragu-ragu terhadap Pancasila ….

Pandangan Presiden Soeharto yang demikian itu sebagai penguat kecurigaan pemerintah terhadap kekuatan sosial masyarakat yang menghendaki adanya kemerdekaan berekpresi dan berdemokrasi di dalam wadah negara kesatuan Repbulik Indonesia. Pemerintah dengan kekuatan militernya acapkali memandang suatu prinsip musyawarah mufakat dengan tidak menghiraukan partai-partai di luar Golkar melakukan penentangan terhadap setiap kebijakan pemerintah seperti RUU. Begitu pula yang terjadi pada PPP yang mencoba menyampaikan sikapnya dipandang menentang Pancasila.

Untuk menguatkan persepsi yang sama terhadap masyarakat terhadap bahaya yang merongrong Pancasila, juru bicara rezim Soeharto tidak jemu-jemunya mengingatkan orang bahwa terdapat dua kelompok ekstrim; pertama, kelompok ekstrim kiri yaitu, sisa-sisa pengikut PKI setelah pemberontakan tahun 1965 beserta organisasi pendukungnya. Kedua, ekstrim kanan, yaitu kelompok Islam yang fundamemtalis.

Pada awal dekade tahun 1980-an ada dua kelompok Islam yang dituduh sebagai ekstrim kanan. Pertama, Kelompok Warman yang dituduh melakukan banyak pembunuhan. Namun penyelidikan terhadap kelompok ini tidak ada bukti yang memberatkan, sebab Warman telah di bunuh oleh ABRI ketika berada di tempat persembunyiannya pada tahun 1981. Kedua, Kelompok Imron bin Muhammad Zein yang dituduh melakukan serangan terhadap salah satu Markas Polisi Cicendo Bandung dan menewaskan tiga orang petugas. Kemudian kelompok ini membajak pesawat pada bulan Maret 1981. Penyelidikan terhadap kasus ini tidak pernah tuntas karena lima orang yang dituduh pelaku ditembak di tempat. Dalam persidangan terungkap bahwa kelompok Imron hanya diperalat oleh Badan Intelejen dalam usaha pihak militer mendiskreditkan umat Islam.

Kecurigaan pemerintah terhadap umat Islam di arahkan pula pada para ulama. Pemerintah khawatir akan isi-isi khutbah atau ceramah keagamaan yang dilakukan oleh para da’i menghujat pemerintah. Melalui Kopkamtib pemerintah mengekang dakwah Islam dengan mengharuskan meminta izin terlebih dahulu. Dakwah Islam dikerangkai agar tidak membicarakan masalah-masalah yang menyangkut Pancasila dan UUD 1945 atau Ketetapan MPR, membicarakn masalah politik, mengkritik pemerintah, mengecam dan menjelek-jelekan pejabat pemerintah, para pegawai dan aparat pemerintah. Terhadap mereka yang melanggar, tidak segan-segan pemerintah melakukan tindakan keras melalui jalur hukum dan dijerat dengan UU Subversif

Tindakan pemerintah seperti itu antara lain dilakukan terhadap para ulama Jawa Timur, mereka menjadi sasaran penculikan yang dibekingi oleh militer. Kasus lainnya adalah Gerakan usrah di Jawa Tengah. Gerakan ini dijiwai oleh semangat reformasi mengajak kembali kepada ajaran Islam secara holistik. Para pengikutnya melakukan kegiatan berdakwah secara halaqah, berkelompok 5 – 7 orang. Pada dasarnya kelompok ini tidak berbicara masalah politik. Cita-cita mereka melaksanakan syiar Islam secara lebih sempurna, sehingga menimbulkan asumsi bahwa prinsip pengamalan ajaran Islam kelompok ini dianggap berseberangan dengan pemerintah. Mereka dianggap menentang Pancasila karena tidak mau menjadikan Pancasila sebagai landasan falsafah hidup.

Kecurigaan pemerintah terhadap Kelompok pengajian ini, tampaknya hanya merupakan kekhawatiran yang sangat berlebihan dari pihak militer. Pandangan Pangdam IV Diponegoro Mayen TNI H. Hartas di dalam pembicaraannya dengan Muspida, Muspika, Babinsa, dan Babinmas, Lurah, dan Camat se-Kodya Semarang menganjurkan aparat pemerintah mewaspadai segala bentuk pengajian Kelompok Usroh. Pihak militer tampaknya sangat Islam phobi. Militer mencurigai kelompok ini sebagai kelompok yang akan mempengaruhi sikap masyarakat terhadap Pancasila. Sedangkan dari pihak Departemen Agama melalui Humasnya, Drs. H. Shodiq berpandangan lebih hati-hati dalam menyikapi permasalahan kelompok pengajian Usrah ini. Shodiq mengatakan:

Kegiatan pengajian kelompok atau Usrah bukan sesuatu yang perlu dicurigai selama tujuannya tidak menyimpang dari ajaran Islam dan tidak membuat resah masyarakat sekitarnya. Usrah dalam bentuk pengajian kelompok yang bertujuan untuk mendalam dan meningkatkan pengamalan Islam tidak perlu dicurigai bahkan perlu didukung.

Kekuatan ulama lainnya yang mendapat perhatian serius dari pemerintah adalah Korp Mubaligh Indonesia (KMI). Lembaga ini didirikan untuk mengkonsolidasikan kegiatan para mubaligh yang jumlahnya semakin bertambah. KMI berfungsi mengajak masyarakat kembali kepada agama dan berpegang teguh kepada garis Alquran dan sunnah nabi. Anggota KMI terkenal pandai bicara. Mereka acapkali berbicara sangat kritis terhadap kebijakan pemerintah. Sikap kritis dari KMI yang diketuai Syafrudin Prawiranegara, seorang tokoh nasional yang memainkan peranan politik beberapa tahun lamanya setelah proklamasi kemerdekaan, mempunyai dampak dicurigainya lembaga ini sebagai pemicu isu yang memanas-manasi masyarakat. Sikap KMI yang disoroti oleh pemerintah adalah sikapnya terhadap asas tunggal. Para mubaligh menilai telah terjadi kedzaliman terhadap kaum muslimin Indonesia. Menurut mereka tidak mungkin umat Islam dalam memegang prinsip hidup menggunakan dua konstitusi buatan manusia dan buatan ilahiyah. Terhadap Pancasila itu sendiri, para ulama itu mengatakan, “Kami kaum muslimin menerima Pancasila sebagai dasar negara, tetapi kami sebagai kaum muslimin mustahil menerima Pancasila sebagai dasar hidup” . Konsekuensi dari sikap KMI seperti itu mengakibatkan banyak para anggotanya ditangkap dan diinterograsi, seperti Mahmudi Noer, Abdul Qadir Zaelani, termasuk Syafrudin Prawiranegara.

Kekhawatiran umat Islam terhadap pengikisan aqidah bisa terwujud bila Pancasila diterima sebagai asas tunggal. Peristiwa ke khawatiran umat akan asas ini bisa di rekonstruksi dari Kasus Tanjung Priuk. Kasus ini berawal dari pengajian yang membahas topik asas tunggal yang di dalam pandangan umat Islam akan menyamakan kedudukan Pancasila dengan agama. Pengajian demi pengajian yang membahas topik ini semakin menghangat dengan beredarnya berbagai pamflet yang berisikan tulisan mengenai problem yang dihadapi oleh umat Islam. Pamflet itu berisi pula jadwal pengajian.

Pemicu awal kasus ini akibat tindakan seorang Babinsa yang memerintahkan untuk menyobek pamflet di Mushola “As-Sa’adah” pada tanggal 7 September 1984. Babinsa ini mengecek kembali perintahnya pada keesokan harinya bersama seorang temannya. Setelah kedatangan kedua perwira ini timbulah suatu isu bahwa militer telah menginjak-injak tempat suci tanpa membuka alas kaki. Tentu saja hal ini membuat marah masyarakat sehingga terjadi pertentangan dengan pihak koramil. Pada tanggal 10 September 1984, Syarifudin Rambe dan Sofyan Sulaeman, Takmir Masjid Baitul Makmur yang berdampingan dengan Mushola As-Sa’adah berusaha menenangkan suasana. Upaya ini tidak berhasil sehingga kedua orang ini diamankan petugas.

Pada tanggal 12 September 1984 seorang mubaligh, Amir Biki mengadakan ceramah di kawasan tersebut. Intisari isi ceramah mengecam tindakan deskriminasi pemerintah. Ceramah Amir Biki menyerang pemerintah dengan keras sehubungan dengan akan diterapkannya asas tunggal Pancasila dan pengekangan kegiatan dakwah selama itu. Amir menceritakan kasus di tangkapnya dua orang takmir masjid di daerahnya oleh aparat Koramil sebagai bukti “Islam phobi” pemerintah. Pada akhir ceramah ia menghimbau Koramil untuk membebaskan kedua takmir yang di tangkap pada malam itu juga. Namun, permintaan itu tidak digubrisnya sehingga terjadi bentrokan massa yang menewaskan ratusan orang.

Terjadinya ragam peristiwa yang mendiskreditkan umat Islam tersebut, tampaknya tidak bisa dipisahkan dari komitmen sejarah pemerintah Orde Baru terhadap Pancasila dan UUD 1945. Untuk menciptakan komitmen sejarah tersebut, agaknya cara yang digunakan cenderung berlebihan. Peristiwa-peristiwa itu boleh jadi merupakan bagian manajemen konflik pemerintah Orde Baru untuk menciptakan penampilan kerusuhan Islam.

Nuansa seperti itu tidak bisa dipisahkan dari dapur politik lembaga kepresidenan. Dalam menjalankan pemerintahannya, Soeharto mengangkat orang-orang kepercayaan ke dalam Spri (staf pribadi). Terdapat dua belas perwira ABRI yang masuk ke dalam Spri. Tiga diantaranya yang menonjol adalah Ali Moertopo, Sudjono Humardani dan Alamsyah Ratu Perwiranegara. Kemudian hari Spri berganti nama menjadi Aspri dan semakin mengokohkan kedudukan Ali Moertopo dan Humardani. Mereka dikenal sebagai dukun politiknya Soeharto. Menguatnya posisi mereka tidak terlepas dari upaya konsolidasi Sekber Golkar yang terdiri dari berbagai kino dan juga didubeskannya Alamsyah ke Nederland. Alamsyah memegang peranan penting di dalam Kino Karya Pembangunan. Kino ini diisi oleh para intelektual dan praktisi berlatar belakang kultural Jawa abangan, Katolik, dan sosialis.

Tentang keterlibatan Letjen Ali Murtopo dan kelompoknya dalam beberapa peristiwa yang mendeskreditkan umat Islam, khususnya kasus Komando Jihad, Sutopo Juwono, mantan Kepala Badan Koordinasi Intelejen Negara (Bakin), menjelaskan:

Ali Murtopo termasuk dalam kelompok ini. Jadi, misalnya anda berbicara masalah komando Jihad, hal itu bukan isu baru. Dari awal dia mempunyai pandangan demikian. Ketika itu saya mencoba menghentikannya. Menurutnya, kita harus menciptakan berbagai isu. Dia mengatakan, “suatu saat kita akan menggunakan ini” dan seterusnya. Saya bisa mengatakan bahwa hal itu selalu ada dalam pikirannya. saya mencoba membendungnya, tetapi tidak mampu, karena dia selalu mengahap presiden, dia mempunyai opsus.

Ihwal manajemen konflik yang diciptakan rezim Orde Baru terhadap umat Islam dirasakan pula oleh Muh. Natsir seorang pemimpin muslim, mantan Perdana Menteri. Ia mengatakan: “ Masyarakat bawah yang tidak puas dengan kondisi yang ada dipengaruhi oleh agen provokator . Mereka menciptakan rumor tentang kembalinya komunis dan menjanjikan senjata pada aktivis Darul Islam untuk melawan ancaman kelompok kiri tersebut”.

Selain kebijakan menciptakan asumsi bahwa Islam politik bersifat fundamental, pemerintah melakukan juga kebijakan publik yang dipandang oleh kaum muslimin sebagai upaya merontokkan aqidah. Sebagaimana telah diuraikan di muka, bahwa berbagai rancangan undang-undang yang diusulkan pemerintah terhadap parlemen senantiasa mengandung unsur yang kontroversi dengan ajaran Islam. Di dalam RUU Perkawinan tampak jelas, bagaimana upaya penghilangan hukum Islam tata aturan dalam upacara perkawinan bagi kaum muslim.

Kebijakan lainnya adalah masalah aliran kepercayaan, P4, RUU Keormasan, Kasus Jilbab, liburan Ramadhan, Pelajaran Agama, dan Pelajaran PMP . Sejumlah kebijakan tersebut mendapat reaksi dari umat Islam.

Lahirnya kebijakan-kebijakan Orde Baru semacam itu sebagai konsekuensi pendekatan spesifik dan spasial terhadap fungsi dan interpensi agama dalam kehidupan politik Orde Baru. Pertama, agama didekati sebagai variabel di luar variabel sosial politik. Kedua, perilaku politik umat di pandang sebagai perilaku individual. Ketiga agama di tempatkan dalam kedudukan yang sakral dan transenden tanpa hubungan struktural dan fungsional dengan kehidupan keimanan dan praktis. Keempat, dalam batas-batas tertentu secara politis agama di tempatkan sebagai legalitas konsep dan kebijaksanaan pembangunan. Kelima, seluruh struktur kehidupan beragama dikaitkan dengan Pancasila sebagai ideologi sosial, politik, sistem, dan misi kebangsaan.

3.2 Mencari Titik Temu Dua Kepentingan

3.1 Berlarut-larutnya Masalah

Kecurigaan awal pemerintah Orde Baru terhadap umat Islam adalah pada sidang MPRS tahun 1968, di mana para wakil partai Islam memaksakan keabsahan Piagam Jakarta sebagai Pembukaan UUD 1945. Peristiwa ini dinilai Deliar Noer sebagai awal dari tumbuhnya sikap curiga rezim Orde Baru terhadap umat Islam. Noer mengatakan:

Gap yang melebar antara umat Islam dan pemerintah dan meningkatnya sikap saling curiga dapat dihubungkan dengan Pancasila, prinsip yang dijadikannya sebagai dasar didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara hampir setiap orang Indonesia sekarang ini menyetujui Pancasila. Umat Islam merasa pemerintah menyekulerkan lima prinsip tersebut. Dilain pihak pemerintah merasa umat Islam ingin “mengislamisasikan” lima prinsip tersebut

Interpretasi terhadap menyekulerkan Pancasila dan mengislamkan Pancasila menyebabkan pemerintah khawatir kelompok-kelompok Muslim akan menggunakan aqidah mereka untuk menghancurkan negara. Sedangkan kelompok muslim takut negara akan merusak mereka.

Pengalaman sejarah Orde Lama telah memberikan gambaran jelas bagaimana sikap pengedepanan ideologi khususnya yang dilakukan oleh partai politik telah menyebabkan hancurnya sendi-sendi kehidupan bangsa. Pada golongan Islam telah merasakan pula bagaimana marginalisasi peran keagamaan selama kurun waktu Orde Lama. Keinginanan menerapkan nilai-nilai keislaman senantiasa dijegal oleh kelompok nasionalis sekuler.

Kondisi yang demikian dipacu pula oleh adanya realitas politik otoritarian, dimana refresivitas negara terhadap masyarakat cukup tinggi. Pada sisi birokrasi, meski telah mengaca pada kegagalan Orde Lama, birokrasi Orde Baru masih menunjukkan tingginya budaya patrimonial sebagai warisan tradisi dan budaya politik masa lampau. Kepolitikan birokratik yang mengedepankan hubungan personal dan hegemoni budaya Jawa sangat sulit ditembus oleh kekuatan-kekuatan di dalam masyarakat. Pada kondisi semacam ini rasa kecurigaan pemerintah terhadap kekuatan khususnya kelompok Islam sangat transparan. Faktor penyebabnya adalah pemaksaan kebijakan yang mau tidak mau harus dapat diterima oleh segenap lapisan masyarakat termasuk didalamnya dalam sub sektor masalah keagamaan. Untuk itu penguasa sangat antusias mempengaruhi sistem budaya politik melalui tindakan refresif ataupun pembungkaman kritik-kritik dari lembaga kemasyarakata ataupun institusi pers.

Selama dua dasa warsa pertama pemerintahan Orde Baru, ulama/umat Islam sering di tempatkan pada ‘an ideological scapegoat” dikambinghitamkan dalam pergumulan ideologi politik negara. Secara sepihak pemerintah memandang adanya pengkambinghitaman antara Islam vs negara karena di dalam tubuh umat Islam itu sendiri ada beberapa faktor yang menyebabkannya. Pertama, Umat Islam tidak pernah mempunyai pemimpin dalam arti yang diakui oleh seluruh umat, yang ada baru pemimpin Masyumi, NU, PSII, Perti, Muhamadiyah dan parpol/ormas Islam lainnya. Kedua, Organisasi Islam yang ada belum mempunyai program menyeluruh yang ada adalah sporadis insidentil. Ketiga, Tidak adanya dana untuk membangun dirinya.

Kelemahan umat Islam tersebut belum disadari sepenuhnya sebagai bagian dari aspek marginalisasi umat. Pandangan umat Islam senantiasa terjebak ke dalam historisme romantis dari Islam politis yang menguras dari atas. Historisme romantis yang muncul dari kalangan umat Islam tidak terlepas dari perjalanan bangsa Indonesia yang senantiasa mengedapankan peran strategis umat Islam, seperti halnya dalam peradilan Orde Lama. Akan tetapi dalam perjalanannya umat senantiasa terposisikan dalam sub ordinat baik dalam sektor ekonomi maupun politik. Padahal komunitas Islam Orde Baru mempunyai kontribusi dalam hal intensitas dan komitmen terhadap hukum dan peraturan dalam memperkokoh nila-nilai, mempertajam fokus, dan memberi dimensi persatuan kebangsaan ke dalam praktek politik

Pada satu sisi meski pemerintah menempatkan Islam sebagai sub ordinat, tetapi tetap memerlukan legitimasi dari para pemimpinnya/ulama guna mendukung strategi pemerintahan Orde Baru yang mengarah kepada stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Pemerintah menyadari bahwa agama dan masyarakat akan membawa nuansa sosial karikatif yang turut menentukan perubahan dan perkembangan masyarakat secara konstruktif. Agama akan mampu menjadi katalisator pencegah disintegrasi dalam masyarakat dan mampu membangun spriritualitas yang memberi kekuatan dan pengarahan dalam memecahkan problem sosial, penindasan, dan kemiskinan .

Hubungan pemerintah dengan umat Islam dalam dua dasa warsa pertama Orde Baru adalah suatu hal yang fenomenal. Bagaimanapun juga pemerintah yang berkuasa adalah mayoritas umat Islam, kebijkannyapun untuk ummat Islam. Keberhasilan ataupun kegagalan dari pemerintah adalah keberhasilan/kegagalan dari umat Islam. Namun sejak awal kebijakan pemerintah Orde Baru ada kecenderungan lebih simpati kepada kelompok nasionalis nasrani dan sekuler dengan diangkatnya mereka pada jabatan penting.

Kecenderungan sikap pemerintah tersebut menyebabkan pula hubungan umat Islam dan Kristen pada masa itu berada pada kondisi kurang begitu harmonis. Sebuah dialog keagamaan antara umat Islam - Kristen yang dimaksudkan untuk menyelaraskan hubungan kedua belah pihak pasca pemberontakan PKI gagal dilaksanakan. Para pemimpin Kristen menolak piagam yang telah disiapkan presiden. Mereka beralasan kelompok Islam menghambat modernisasi, fundamentalis, para pengikut DI dan anti Pancasila. Faktor inilah yang tampaknya sebagai alasan pemerintah Orde Baru lebih dekat dengan kelompok tertentu yang dianggapnya lebih loyal pada Pancasila.

3.2 Gagasan Pendekatan Keagamaan

Berlarut-larutnya ketegangan antara pemerintah dengan umat Islam sepanjang dua dasa warsa pertama pemerintahan Orde Baru mengindentifikasikan adanya proses pencarian komitmen kebersamaan yang tepat antarberbagai elemen yang ada pada elit pemerintahan Orde Baru. Kebijakan politik yang diterapkan oleh pemerintah telah mengakibatkan adanya arah perubahan sosial yang bersumber pada ide-ide dan dasar-dasar teoritis penciptaan kehidupan masa depan Indonesia. Secara dikotomi sepanjang periode ketegangan Islam dan negara, perbedaan ide dan perlawanan arah tersebut dapat disebutkan sebagai perwujudan dari konsepsi negara Islam dan negara sekuler dan golongan nasionalis Islami dan nasionalis sekuler.

Latar belakang pengalaman sejarah dan kenyataan teoritis mayoritas umat Islam serta perbedaan ide-ide atas persepsi masa depan Indonesia tersebut, telah mendorong pemerintah menetapkan kebijaksanaan politiknya sesuai kehendak dan pandangan pemerintah. Konsepsi operasional pengarahan tersebut bersumber pada penempatan agama sebagai variabel individual dan tidak berhubungan dengan permasalahan politik kenegaraan. Oleh karena itu kemudian agama difungsikan sebagai modal dasar pembangunan dan arah perubahan sosial. Agama bersama kebudayaan dalam kedudukan fungsionalnya dipandang tidak memiliki variabel ekonomi, politik, dan kenegaraan.

Dalam kehidupan keagamaan umat Islam, ada dua strategi yang dijalankan Orde Baru terhadap kekuatan Islam, yaitu memajukan kekuatan agama secara personal dan menentang politisasi agama. Ketaatan agama seorang muslim sangat digalakan, sebagian besar sebagai senjata anti komunis -ateisme, Departemen Agama diperkuat dan diberi kepemimpinan non partisan baru, sistem Sekolah Guru Agama Islam Negeri yang sudah ada diperluas dan diberikan pembiayaan tambahan. Presiden Soeharto kemudian berinisiatif mendirikan yayasan dengan program subsidi pembangunan masjid secara besar-besaran.

Konsepsi pemerintah tersebut telah menyebabkan pergeseran fungsi ulama. Dikotomi pandangan tentang ulama dan umaro menjadi sesuatu yang efektif bagi hilangnya peran strategis para ulama dalam memecahkan masalah kemasyarakatan dalam dimensi politis secara dini.

Kelahiran MUI sebagaimana telah diuraikan pada bab 2 merupakan konsekuensi dari sebuah keharusan peran yang bisa dimainkan oleh kelompok ulama dalam realitas kepolitikan Orde Baru. Oleh karena itu menurut Ali Yafi adalah tugas berat bagi para ulama saat itu dan sampai kapanpun untuk mampu memberikan sumbangsih peran kemasyarakatan. Ia mengatakan:

Peran yang diharapkan dari MUI adalah peran-peran ideal yang semestinya melekat dalam diri ulama. Peran sebagai pengayom umat, penasehat umat, teladan umat, pemimpin umat dan tempat bertanya semua masalah …pelopor dalam berperang melawan kedzaliman dan kemungkaran. Harus berani, tangguh, tabah, dan pantang menyerah ….

Pentingnya peran lembaga MUI tersebut mengaharuskan pemerintah mengakui kesalahan persepsi terhadap umat Islam sepanjang dekade tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an. Berlarut-larutnya ketegangan umat Islam dan negara diakui secara transparan oleh Menteri Agama Alamsyah Ratu Perwiranegara dalam sambutannya pada Rapat Kerja Nasional Majelis Ulama Indonesia pada tanggal 8 Maret 1982. Alamsyah mengatakan:

Berlarut-larutnya ketegangan umat Islam dan negara sebagai konsekuensi kurang difahaminya latar belakang negara Pancasila. Aspek politik telah mengalahkan aspek ajaran luhur budi pekerti, rohaniah, mental spiritual. Umat Islam masih mempersepsikan pemerintah sebagaimana halnya pemerintah kolonial. Begitu juga sebaliknya. ... konfrontasi, rasa saling curiga, dan isolasi adalah sebagai akibat belum difahaminya latar belakang terbentuknya negara Pancasila secara utuh. Sehingga masyarakat di kampung tahunya hanya soal agama saja … Cap anti Pancasila terhadap PPP yang melakukan walk out pada Sidang Umum MPR tahun 1978, setelah kita teliti sebetulnya tidak ada kaitan anti Pancasila, dan tidak ada kaitannya dengan ingin memberontak, … soalnya hanya sederhana, tidak mengerti Demokrasi Pancasila. Hal ini disebabkan karena pemimpin kita maupun para cendekiawan 90% adalah pendidikan Barat yang menganut sistem demokrasi asas lima puluh ditambah satu .

Proses peminggiran Islam politik yang dibahasakan oleh Alamsyah sebagai suatu kesalahan persepsi, pada dasarnya juga merupakan komitmen keumatan yang harus dimiliki oleh MUI. Komitmen MUI dalam berbagai masalah ternyata tidak lepas dari kebijakan keagamaan secara makro yang diterapkan oleh Departemen Agama. Gagasan awal berdirinya MUI baru terealisasi pada saat Menteri Agama dipegang oleh Mukti Ali. Program yang menonjol saat Mukti menjabat adalah pertama, masalah kerukunan umat beragama dengan menggagas perlunya tradisi dialog antaragama. Kedua, menjadikan agama sebagai landasan pembangunan nasional, dan ketiga pemberdayaan kepemimpinan umat. Oleh karena itu pada awal kelahiran MUI pemerintah mengorientasikan MUI pada garis kebijakan keagamaan rezim Orde Baru.

Setelah Mukti Ali, jabatan Menteri Agama dipercayakan Soeharto kepada Alamsyah Ratu Perwiranegara. Pada zaman Alamsyah, orientasi programnya mengacu kepada memantapkan ideologi dan falsafah Pancasila dalam kehidupan beragama, memantapkan stabilitas ketahanan nasional, dan meningkatkan partisipasi umat beragama dalam menyukseskan pembangunan nasional[20].

Pengganti Alamsyah adalah Munawir Sadzali. Saat ia menjabat sebagai Menag tugas terberat yang diembannya adalah mencairkan ketegangan ideologis antara umat Islam dan pemerintah. Munawir dalam menanggapi ketidakpuasan umat Islam terhadap negara mengedepankan prinsip pengembangan kehidupan keagamaan dan menjaga harmonisasi hubungan antar umat beragama.

Suatu hal menarik dari pendekatan pemerintah untuk membuat loyalitas umat Islam dan mengikis ketegangan antara umat Islam dan negara ditandai dengan beberapa kebijakan rezim Orde Baru yang justru menyinggung rasa keberagamaan para ulama. Kerapkali dikemukakan bahwa kebijakan rezim Orde Baru justru semakin menguatkan persepsi, bahwa pemerintah tetap phobi terhadap umat Islam. Beberapa kebijakan yang dilahirkan secara transparan menunjukkan ketidak hati-hatiannya. Seperti aliran kepercayaan, P4, asas tunggal, masalah dakwah, kependudukan, pendidikan nasional , jilbab, perjudian, Pendidikan Moral Pancasila, dan pemilihan mata pelajaran agama.

Untuk mencari titik temu antara keinginan pemerintah dan umat Islam, maka secara formal pemerintah mengharapkan peran lembaga ulama MUI untuk dapat menterjemahkan keinginan pemerintah tersebut. Pada sisi lain para ulama MUI yang memegang komitmen independensi keulamaan memandang terhadap berbagai kebijakan pemerintah Orde Baru sebagai dimensi lain dari perjuangan ulama pada masa itu. Tidak heran kalau upaya yang dilakukan MUI juga terkadang identik dengan keinginan pemerintah dalam melegetimasi kebijakannya.

Bagaimana respons MUI terhadap beberapa kebijakan kontroversi pemerintah yang berhubungan dengan sendi keagamaan?. Terhadap masalah ini akan dibahas pada Bab IV. Pada bab ini penulis ingin menegaskan bahwa, hubungan ulama dan pemerintah dianggap penting oleh pemerintah Orde Baru sebagai alternatif strategi meyakinkan umat Islam akan keharusan loyal terhadap Pancasila. Oleh karenanya kebijakan sosio keagamaan Orde Baru adalah suatu faktor penting yang mampu mencairkan ketegangan umat Islam dan negara. Pemerintah mengedepankan kebijakan pembangunan keaagamaan dengan menempatkannya dalam GBHN.

Apabila dicermati, konsepsi GBHN tentang pembangunan keagamaan dapat dilihat bahwa agama dipandang sebagai salah satu unsur dari sistem dan konsepsi pembangunan. Oleh karena itu, pembangunan agama di tempatkan dalam keserasiannya dan dukungannya terhadap pembagunan ekonomi politik


Tidak ada komentar:

Feature

“ANDAI……..AKU JADI PRESIDEN"


INDONESIA……aku bangga tinggal di sini. Tanahnya subur, rakyatnya makmur. Walaupun….kini keadaannya berubah ke arah yang lebih…..ya….bisa dikatakan tidak lebih baik. Kata orang sih itu murka dari Tuhan. Tapi siapa tahu saja, Tuhan mencintai hamba-Nya dengan cara seperti ini. Dia kan penuh dengan rahasia yang tak mungkin seorang pun tahu.

Andai aku jadi presiden di negeri ini, hal yang pertama akan aku lakukan adalah membuat semua rakyat percaya padaku. Aku melakukan hal itu karena bagaimana mungkin negara yang aku pimpin akan aman dan sejahtera jika rakyatnya sendiri banyak buruk sangka pada pemimpinnya. Tapi aku tak akan susah-susah berkata tentang kebaikan diriku pada mereka. CAPE! Daripada aku banyak bicara tentang janji-janji, lebih baik aku langsung “turun” ke masyarakat. Mungkin itu seperti mustahil.

Ya…..mustahil sih kalau memang tidak diniatkan sebagai ibadah. Pekerjaan sebagai presiden kan juga ibadah! Gini caranya, aku akan menghabiskan masa liburanku dengan mengunjungi provinsi-provinsi secara bergiliran,daripada jalan-jalan keluar negeri!

Kalau masalah pekonomian, aku akan memutuskan agar tidak usah meminjam dana dari luar negeri lagi. Cara lain untuk mendapatkan dana ialah dengan mengoptimalisasikan tenaga kerja di negeri ini.

Setelah aku amati, ternyata banyak tenaga kerja berkualitas yang masih menganggur. Dan yang aku tahu, mereka bukannya tidak berusaha, tapi mereka sulit sekali diterima bekerja karena tidak punya kenalan di tempat mereka melamar pekerjaan.

Setelah itu, aku akan mengerahkan mereka agar sumber daya alam Indonesia yang beraneka ragam dikelola dengan sebaik-baiknya, daripada dikelola oleh perusahaan-perusahaan luar negeri yang hanya memberikan sedikit imbalan untuk kekayaan alam yang berlimpah itu.

Yang paling penting, aku akan berbuat adil kepada semua daerah di negara Indonesia. Yang aku tahu, adil bukan berarti sama tapi, menempatkan sesuatu pada tempatnya atau menerima hak tanpa lebih dan memberi hak tanpa kurang. Artinya, apabila suatu daerah lebih banyak menghasilkan sumber daya alam untuk diolah, maka pendapatan yang akan diterima oleh daerah itu akan lebih banyak. Mungkin dengan cara seperti itu, daerah tertinggal yang banyak menghasilkan kekayaan alam bisa terbantu.

Hal yang juga penting bagi makmurnya suatu negara adalah pendidikan rakyatnya. Memang, sekarang ini sekolah dianggap sebagai beban bagi rakyat kecil. Padahal, kebanyakan dari mereka memiliki semangat untuk benar-benar mencari ilmu, bukan sekedar gengsi saja. Tapi semua itu tidak didukung dengan kemujuran mereka sebagai warga suatu negara.

Oleh karena itu, aku akan mengadakan suatu seleksi untuk mencari anak-anak yang memiliki motivasi tinggi yang memang tidak mampu untuk sekolah. Kemudian, mereka masing-masing akan dikelompokkan berdasarkan kemampuan yang mereka miliki.

Setelah itu, mereka akan dilatih lebih terampil dalam menggunakan kemampuannya, sampai akhirnya bisa bekerja dengan kemampuannya itu. Sementara itu, hal pertama untuk meningkatkan pendidikan bagi yang sudah mampu membiayai sekolah, ialah dengan membuat bersekolah itu tidak sia-sia baginya. Mereka tidak usah mempelajari semua pelajaran di sekolah. Mereka cukup mempelajari mata pelajaran yang menunjang bagi masa depan mereka(tujuannya agar pikiran mereka tidak bercabang-cabang), karena buat apa mereka sekolah kalau hanya untuk mendapatkan nilai bagus (bagaimanapun caranya) tanpa ada bekasnya! Mereka perlu pengembangan potensi diri untuk masa depan! Mungkin sistem ini semacam penjurusan bakat semenjak dini, seperti di negara-negara maju di dunia.

Indonesia memiliki ragam kebudayaan daerah yang sangat tinggi. Untuk menjaganya agar tetap lestari, aku akan mengadakan semacam pergelaran akbar di dalam maupun di luar negeri yang khusus menampilkan pertunjukan kebudayaan-kebudayaan itu setiap tahunnya (jadi Indonesia tidak hanya terkenal dengan pergelaran musik pop atau dangdutnya saja tapi kebudayaannya juga). Ketika pergelaran itu berlangsung, aku akan mengundang utusan-utusan dari luar negeri. Hal itu dilakukan agar penduduk dari setiap daerah terpacu untuk tetap mempertahankan kebudayaan daerah tempat mereka berasal. Selain itu, masyarakat luar negeri pun akan tahu kekayaan kebudayaan kita. Dan siapa tahu saja dapat lebih meningkatkan devisa bagi negara.

(Buah pemikiran . LISMA NURUL WB. ketika sedang menuntut ilmu di SMA AL MUTTAQIN TASIKMALAYA KELAS 1.1 Tahun Akademik 2003-2004. Kini sedang melanjutkan studi di Sekolah Farmasi ITB)